Presidensi G20, Membawa Manfaat Untuk Rakyat Indonesia?

KTT G20 di bawah kepemimpinan Indonesia sebagai tuan rumah tahun ini
Dengan mengusung prinsip inklusivitas, KTT G20 di bawah kepemimpinan Indonesia sebagai tuan rumah tahun ini akan melibatkan 17 kepala negara/pemerintahan dan 3.443 delegasi. Namun, dari negara yang sudah mengkonfirmasi kehadirannya, ada beberapa negara yang absen, di antaranya kepala negara/pemerintahan dari Rusia, Brasil, dan Meksiko. Presiden Rusia Vladimir Putin mungkin hadir secara virtual. ”Mereka (Rusia) sepertinya akan virtual ya,” kata Luhut dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, kemarin (Jawapos.com, 12/11/2022).
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memastikan seluruh kesiapan KTT sudah 100 persen. Dan meski pada saat hari H tidak terdapat komunike dari para kepala negara, Luhut yang sekaligus ketua Bidang Dukungan Penyelenggaraan Acara G20 tak ambil pusing. Menurutnya mencapai komunike atau tidak, yang jelas G20 di bawah kepemimpinan Indonesia sudah menghasilkan banyak kesepakatan di berbagai bidang. Juga memberikan dampak ekonomi yang sangat besar bagi RI.
”Kalau pada akhirnya tidak mencapai leaders communique, ya sudah nggak apa-apa. Banyak hal yang sudah kami hasilkan, berbagai macam, dan bahkan kalau dihitung dari sisi ekonomi sudah mencapai miliaran dolar AS,” jelas Luhut. Konferensi forum B20 (Business 20) makin menguatkan pendapat Luhut. B20 adalah forum bisnis global dalam agenda G20. Deretan nama pesohor tercatat hadir diantaranya, Elon Musk, Jeff Bezos, Tony Blair, Justin Trudeau, Anthony Albanese, dan Anne Hathaway. Hasil dalam diskusi B20 akan mendorong negara-negara anggota G20 untuk terus berkolaborasi secara simultan. Tidak berhenti pada presidensi G20.
Perhelatan G20 di Bali memang melibatkan banyak pihak, termasuk LSM dan masyarakat, Luhut optimis dengan banyaknya negara yang ingin bekerja sama dengan RI dan menginginkan adanya kerjasama bilateral menunjukkan posisi Indonesia yang kuat, memiliki peran strategis dalam percaturan global. Dan tepat sebagai ketua G20.
Dari sisi ekonomi, menurut Luhut, dampak multiplier effect kontribusi G20 mencapai USD 533 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2022. Sebagian besar akan berputar di Bali. Sebagaimana tema tahun ini Recover Together Recover Stronger, Luhut pun mengajak dunia untuk pulih bersama dan bangkit lebih kuat dengan bergotong royong membawa perdamaian masyarakat dunia.
G20 Butakan Persoalan Umat yang Sebenarnya
Semaraknya G20 seolah memberikan harapan baru yang lebih baik bagi rakyat Indonesia khususnya maupun dunia pada umumnya. Berbagai rekomendasi yang diajukan oleh petinggi-petinggi negara sedunia itu seolah benar adanya bisa mengangkat persoalan yang hari ini menjerat siapa saja melingkar-lingkar.
Persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah tingginya kemiskinan, kerawanan konflik sosial dan lain-lainnya. Akankah ini benar-benar teratasi? Yang tampak, keberadaan Indonesia sebagai Presidensi G20 nyaris seperti EO (Even Organizer) yang melayani kepentingan negara besar .
Kalaulah diklaim mendapatkan keuntungan ekonomi, apakah benar keuntungan itu dirasakan oleh rakyat secara luas, dan bukan hanya sesaat saja? Bahkan ada kalimat Luhut yang jelas mengatakan dampak ekonomi yang multiple effect sebagian besar akan berputar di Bali. Bukankah Indonesia bukan hanya Bali?
Sidang kasus pembunuhan Brigadir Josua oleh Sambo hingga ditunda dengan alasan evaluasi pengadilan, korupsi di Mahkamah Agung kembali terjadi, sekeluarga meninggal di perumahan Kalideres tanpa diketahui tetangganya, pencurian motor yang marak, begitupun pembunuhan di dalam keluarga dimana pelakunya justru orang terdekat dan lain sebagainya hampir-hampit tak tersentuh oleh negara. Semua mata dan pandangan tertuju di gelaran G20, faktanya lagi, Indonesia hanyalah menjadi pasar bagi negara maju.
Bagaimana Pandangan Islam?
Dari sisi kedaulatan negara, jelas Indonesia samasekali tak memilikinya. Di antara tamu undangan, ada kepala negara yang jelas-jelas kebijakannya menyetujui serangan kepada Islam, kaum Muslim dan ajarannya. Mereka dalang dari setiap konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di daerah kawasan timur tengah, yang bergolak tak henti dengan terus menerus mengkambinghitamkan Islam.
Maka, tidak ada hubungan lain yang diperbolehkan kecuali perang. Haram menerima, menjamunya bahkan kemudian mengemis (baca: meratifikasi) setiap kebijakan mereka yang sebenarnya tak memberi efek positif bagi rakyat. Justru, berbagai proyek atas nama investasi ini adalah cara negara maju mendominasi sekaligus menjajah dengan gaya baru negeri-negeri Muslim yang kaya akan sumber daya alam.
Sebagai negara berdaulat, maka wajib menghindarkan diri dari kerjasama yang hanya melemahkan posisi kita, bahkan mengharap belaskasihan negara penjajah untuk membiayai seluruh aktifitas dalam negeri yang menurut pandangan Islam juga haram. Sebab ujungnya adalah eksploitasi kekayaan alam yang semestinya menjadi milik rakyat. Namun, kapitalisme yang hari ini menjadi sistem aturan dunia tak mengenal pengaturan kepemilikan kecuali siapa yang memiliki modal besar ia yang bisa menguasai faktor-faktor ekonomi sekaligus aksesnya.
Jadi, G20 untuk siapa? Islam telah memberikan seperangkat aturan agar manusia bisa hidup tenang, damai dan sejahtera. Tentu dengan syariat Islam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Beliau pun telah menerapkan bentuk negaranya, yang dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah selanjutnya. Khilafah adalah bentuk negara mandiri dan berdaulat, peradaban yang terbangun belum ada sistem apapun yang mampu menandinginya. Wallahu a’lam bish showab.
Penulis: Rut_Institut Literasi dan Peradaban.
Editor :Esti Maulenni