Logo Halal Baru, Awas Pengalihan Fokus

Logo Halal MUIyang lama dan yang baru
Semua media sosial bahas logo baru halal yang diterbitkan oleh kemenag. Rata-rata menyatakan kurang suka, baik dari sisi warna, khats yang tidak jelas dan mengapa harus berbentuk gunungan wayang. Ada apa dibalik peluncuran logo baru ini hingga kemenag dengan tegas mengatakan logo halal dari MUI tidak berlaku lagi?
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama meluncurkan logo label halal yang berlaku secara nasional.
Penetapan label halal tersebut berdasarkan Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. Surat Keputusan ditetapkan di Jakarta pada 10 Februari 2022, ditandatangani oleh Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham, dan berlaku efektif terhitung sejak 1 Maret 2022 (suaraslam.id, 13/3/2022).
Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham, mengatakan, penetapan label halal tersebut dilakukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Penetapan ini juga bagian dari pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang JPH.
Label Halal Indonesia, menurut penjelasan Aqil Irham secara filosofi mengadaptasi nilai-nilai ke-Indonesiaan. Bentuk dan corak yang digunakan merupakan artefak-artefak budaya yang memiliki ciri khas yang unik berkarakter kuat dan merepresentasikan Halal Indonesia. Label Halal Indonesia berlaku secara nasional. Label ini sekaligus menjadi tanda suatu produk telah terjamin kehalalannya dan memiliki sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH.
Karena itu, pencantuman label Halal Indonesia wajib dilakukan pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, dan/atau tempat tertentu pada produk. Sesuai ketentuan Pasal 25 Undang-undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Anwar Abbas menilai label halal Indonesia yang diluncurkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama terlalu mengedepankan seni. Akibatnya, label halal tak tampak bertuliskan bahasa Arab. "Kalau bagi saya, tulisan Arabnya nggak tampak tulisan Arabnya. Terlalu mengedepankan seni, ya. Terlalu mengedepankan nuansa lokal," kata Anwar kepada MNC Portal Indonesia, Sabtu (12/3/2022).
Menurut Anwar, kentalnya nuansa lokal dalam keterangan Label Halal tersebut akan menimbulkan kekeliruan. Orang Arab tidak mengerti tulisan tersebut. Meski dinilai indah tapi semestinya tidak perlu menghilangkan makna serta keutamaannya itu sendiri.
Digunakannya logo halal sebenarnya tidak dibutuhkan jika negara sudah berdasarkan syariat Islam, dimana terkait urusan makanan, sejak dari bahan baku, pengolahan hingga distribusinya wajib diawasi oleh negara, melalui para ahlinya. Sebab, jaminan negara terhadap pemenuhan kebutuhan pokoknya juga terinklude di dalamnya halal dan toyyibnya.
Namun karena kebanyakan negeri Muslim hari ini menggunakan sistem sekuler, yaitu memisahkan agama dari kehidupan maka menjadi urgensitas bagi Muslim untuk mendapat kejelasan kehalalan sebuah produk sebelum dikonsumsi.
Seharusnya, sebuah logo, agar mudah terbaca harus memenuhi beberapa kriteria diantaranya jelas dan sederhana, sehingga mudah dipahami oleh orang awam sekalipun. Dikutip dari @ YUSUF.ILYAS.IG, bahwa logo halal sebagaimana yang MUI rilis selama ini berkats Naskhi, karakter huruf sederhana, tanpa hiasan tambahan. Mudah ditulis dan dibaca. Kesesuaian kaligrafi "HALAL" dengan khat Naskhi menunjukkan bahwa ini sesuai dengan ciri-ciri khat Naskhi, yang merupakan salah satu jenis khat yang paling mudah dibaca.
Lantas logo baru kemenag ini masuk dalam khat mana? Begitupun dengan warna ungu yang diklaim melambangkan keimanan. Padahal, warna ini rentan tidak tampak jika background produk berwarna gelap. Kritikan masyarakat pun mengarah kepada bentuk gunungan wayang, seolah menegaskan Islam Indonesia identik dengan Nusantara dan hanya Jawa. Bagaimana dengan wilayah lain, seperti Sumatera, Kalimantan, Papua dan lainnya, apakah tak layak mewakili Nusantara?
Kita harus waspada, jangan terlalu terlarut dalam kegaduhan logo baru, bisa jadi ini adalah pengalihan isu sebagaimana biasanya. Penguasa menutupi berbagai kelemahannya dengan membuat kegaduhan di sisi lain. Penguasa tak pernah secara jujur mengakui kelalaian dalam mengurusi rakyatnya. Entah karena mati hati atau memang tak fokus pada rakyat. Setiap kebijakan yang disahkan, semakin membebani rakyat.
Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dr. Amirsyah Tambunan memastikan label halal MUI masih bisa digunakan hingga lima tahun ke depan. Hal itu telah tertuang dalam PP Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Pada pasal 169 tentang ketentuan peralihan menyebut masih boleh pakai logo MUI sampai 5 tahun setelah PP dikeluarkan. PP itu dikeluarkan pada tanggal 2 Februari 2O21 lalu. “Ketentuan peralihan PP itu masih boleh pakai logo MUI sampai 5 tahun setelah PP dikeluarkan,” kata Amirsyah dalam keterangan resminya, Ahad (suaraislam.id,13/3/2022).
Dr. Amirsyah juga meminta agar rakyat tenang, sebab masa transisi masih lima tahun dan lebih pastinya bukan pemerintah yang berhak mengeluarkan sertifikat halal, melainkan MUI.
Sekali lagi kita masih harus tetap mengawal penguasa dengan terus mengingatkan bahwa persoalan utama rakyat belum terselesaikan, tentang kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok berikut harganya yang kian melambung. Belum lagi BBM, elpiji yang juga ikut melambung, berikutnya pajak juga diwacanakan naik hingga 11%. Betapa kasat matanya penderitaan rakyat, kemana mesti mengadu?
Kita butuh perubahan, bukan dari sosialisme atau kapitalisme yang selama ini sudah dan sedang memimpin dunia. Munculnya narasi komunis akan menguasai Indonesia adalah hoax belaka, musuh yang sesungguhnya adalah demokrasi yang melahirkan pemimpin berjiwa bisnis (kapitalis) dimana yang dia amankan hanya kepentingan koorporasi dan partai.
Bayangkan saja, di saat rakyat berlarian berebut minyak goreng, bahkan sudah menghilangkan nyawa, beberapa pemimpin partai bisa menggelar pasar murah minyak goreng, darimana mereka mendapatkan akses? Mengapa bukan langsung kepada rakyat?
Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dan jin di dunia ini untuk beribadah kepada Allah ( QS Ad-Dzariyat :56),
Bagaimana bisa melaksanakan kewajiban itu jika kewajiban-kewajiban yang yang lain yang mendukung satu kewajiban tadi terlaksana tidak terpenuhi?
Salah satunya adalah kondisi terterapkannya syariat secara Kaffah, sehingga setiap individu memenuhi kebutuhan hidupnya dalam jaminan negara yang memang konsisten menerapkan syariat, bukan hanya formalitas. Wallahu a'lam bish showab.
Editor :Esti Maulenni
Source : Suara