Mengatasi Kenaikan Harga BBM Dengan BLT Solutifkah?
Baru-baru ini tepatnya tanggal 3 September 2022, pemerintah telah resmi menetapkan kebijakan pahit untuk rakyat. Yakni dengan menaikkan kembali harga sejumlah BBM, termasuk Pertalite. Padahal sebelumnya pemerintah, telah menaikkan harga BBM pada jenis Pertamax dan Solar. Alasan utama pemerintah menaikkan BBM, dikarenakan naiknya harga minyak mentah dunia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, menyebutkan harga minyak mentah akan terus naik, hingga mencapai US$105/barel, pada akhir tahun. Padahal, asumsi makro pada Perpres 98/2022, hanya US$100/barel. Akibat kenaikan ini, kuota subsidi energi yang dianggarkan pemerintah sebesar Rp.502,4 triliun, akan segera habis bulan September (CNBC Indonesia.com, 29/8/2022).
Selain karena kenaikan harga minyak mentah, faktor lain adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi, seolah tidak bisa dihindari lagi. Menurut pemerintah, jika harga tidak dinaikkan APBN akan jebol, sehingga harus menambah subsidi sebesar Rp.198 triliun, dengan demikian total anggaran mencapai Rp.700 triliun.
Pemerintah pun telah menyiapkan beberapa langkah antisipasi, untuk meredam dampak kenaikan harga BBM bersubsidi, salah satunya akan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat. Hal tersebut diungkapkan menteri ESDM Arifin Tasrif, pada rapat kerja komisi VII DPR RI, Rabu 24 Agustus 2022. Beberapa anggota meminta pemerintah mempertimbangkan adanya BLT untuk masyarakat (CNBC Indonesia.com, 24/8/2022).
Melonjaknya harga BBM, berdampak secara langsung kepada masyarakat, mulai dari kenaikan harga bahan pokok, tuntutan kenaikan upah, tarif moda transportasi, membengkaknya biaya produksi, dan sebagainya. Pemerintah menganggap, dengan pembagian BLT menjadi alternatif efektif, untuk mendinginkan gejolak yang timbul dari kebijakan ini.
Padahal solusi tersebut tidaklah solutif, sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Riset Center Of Reform On Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengutarakan bahwa, sebaiknya pemerintah mengalokasikan anggaran BLT, untuk penambahan subsidi energi saja, sehingga kenaikan harga BBM tidak perlu dilakukan. Piter menilai, pemerintah justru membebani APBN 2022, untuk keperluan BLT tersebut (Kompas.com, 7/9/2022).
Secara realita, BLT layaknya obat pereda, pemberian bantuan tersebut hanya bersifat sementara, dan dalam jumlah terbatas. Tak bisa dipungkiri pada awalnya rakyat memang mendapatkan tambahan uang dalam jumlah yang tidak seberapa, namun ketika bantuan itu terhenti, kemudian harga BBM terus merangkak, rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan energi mereka. Dalam hal ini pemerintah seakan menutup mata, telinga, dan hati terhadap kesulitan rakyatnya.
Kemudian selain itu, akan muncul berbagai permasalahan baru, ketika kebijakan BLT diterapkan, seperti maraknya korupsi dana Bantuan Langsung Tunai, dana masyarakat miskin yang tidak valid, sehingga tidak tepat sasaran, pembengkakan dana APBN, dan sebagainya. Penyebab utamanya, bukanlah dikarenakan adanya BLT maupun bantuan lain. Melainkan kesulitan rakyat dalam mengatur kebutuhan energi, disebabkan adanya liberalisasi migas. Liberalisasi tersebut merupakan buah dari diterapkannya sistem kapitalisme yang bercokol saat ini.
Sistem ini melegalkan pihak swasta (asing), dapat menguasai dan mengendalikan Sumber Daya Alam (SDA), termasuk migas di dalamnya, sedangkan negara hanya berperan sebagai regulator, yakni pembuat Undang-Undang, sehingga privatisasi SDA para kapital semakin mulus. Alhasil BBM sebagai salah satu hasil pengelolaan migas terkena imbasnya, sehingga Bahan Bakar Minyak semakin mahal, dan sulit dijangkau oleh masyarakat.
Hal ini sangat berbeda, jika pengaturan BBM diatur dengan cara Islam. Rasulullah Saw bersabda: "Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Daud). Bahwasannya SDA merupakan harta kekayaan milik umum, tidak boleh dimiliki individu, bahkan diprivatisasi di dalamnya.
Selain itu, Sumber Daya Alam migas termasuk kekayaan alam yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat, karena untuk bisa menikmati hasilnya, membutuhkan usaha keras para tenaga ahli, profesional, teknologi canggih, serta memerlukan biaya yg fantastis. Dengan demikian dalam Islam, syariat telah menetapkan negaralah yang berperan mengeksplorasi, mengeksploitasi, serta mengelolanya, sehingga hasil pengelolaannya harus dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat seutuhnya.
Di dalam mengelola hasil Sumber Daya Alam migas, terdiri dari dua mekanisme, yakni secara langsung dan tidak langsung.
1). Mekanisme secara langsung, yaitu negara memberikan bantuan subsidi energi, seperti listrik, BBM, gas, dan sebagainya, guna memudahkan masyarakat, dalam memenuhi kebutuhan energi, dengan harga terjangkau, bahkan gratis, tanpa perlu adanya BLT.
2). Mekanisme secara tidak langsung, yaitu negara menjamin secara mutlak, dalam memenuhi kebutuhan dasar publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, agar memudahkan dalam mengakses layanan masyarakat secara gratis. Adapun biaya untuk menjamin kebutuhan dasar publik tersebut, negara mengambilnya dari pos kepemilikan umum Baitul Mal. Dana pos ini berasal dari pengelolaan SDA, termasuk migas di dalamnya.
Dalam Islam, negara diperbolehkan menjual, migas kepada industri, maupun mengekspor ke luar negeri, dengan mengambil keuntungan secara wajar. Kemudian hasil dari keuntungan tersebut, dimasukkan ke dalam pos kepemilikan umum Baitul Mal. Dengan demikian selain untuk menjamin kebutuhan dasar masyarakat, keuntungan dari pos tersebut, dapat digunakan untuk membiayai seluruh proses operasional produksi migas, pengadaan sarana dan infrastruktur riset, eksploitasi, pengolahan, hingga pendistribusiannya keseluruh SPBU, serta melaksanakan aktivitas administrasi lainnya, yang terkait dalam urusan tersebut.
Demikianlah model pengelolaan Bahan Bakar Minyak di dalam Islam, yang mampu memberikan kesejahteraan terhadap rakyatnya, tanpa membedakan status miskin maupun kaya.
Wallahua'lam bishowab.
Editor :Esti Maulenni