Mengkritisi Kebijakan Kota Layak Anak

Banyak kota bergelar kota layak anak, namun sudah kan layak bagi anak?
Rut Sri_Institut Literasi dan Peradaban
Polda Metro Jaya tengah menyelidiki kasus penyekapan dan eksploitasi seksual anak di bawah umur selama 1,5 tahun sejak Januari 2021. Korban adalah seorang gadis berusia 15 tahun, berinisial NAT, awalnya ditawari pekerjaan dengan imbalan atau penghasilan besar. Selama 1,5 tahun, NAT mengaku disekap dan dijadikan pekerja seks komersial.
“Tidak ada hanya diajak kerja saja. Hanya diiming-imingi entar punya duit banyak, jadi kecantikan ini itu, diiming-iminglah,” ujar sang pelapor yang tak lain ayah korban berinisial MRT (49 tahun). Selama ini pun, NAT ketika ditanya ayahnya tidak pernah berterus terang. (republika.co.id,16/9/2022).
Angka kekerasan terhadap anak memang tak pernah turun, bahkan setiap tahun menyasar korban dengan usia yang makin kecil. Seperti yang terjadi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Lembaga Save the Children yang sedang melakukan pendampingan terhadap 32 kasus kekerasan terhadap anak dan 28 kasus kekerasan. Lembaga kemanusiaan itu menyatakan bahwa tingkat kekerasan terhadap anak dan perempuan di kawasan NTT cukup tinggi. “Kasus kekerasan terhadap anak didominasi kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan,” kata Manager Save and Children wilayah Sumba, David Walla saat workshop jurnalis sahabat anak NTT, Selasa, 13 September 2022.
Makin Banyak Kota Layak Anak (KLA), Mengapa Kekerasan Terhadap Anak (KTA) Tetap Mewabah?
Kota Layak Anak (KLA) makin banyak diangkat dan dijadikan prioritas pembangunan daerah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) baru-baru ini menganugerahi Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) tahun 2022 kepada 320 kabupaten/kota, yang terdiri dari 8 Utama, 66 Nindya, 117 Madya, dan 121 Pratama. Apresiasi juga diberikan kepada 8 provinsi yang telah melakukan upaya keras untuk mewujudkan Provinsi Layak Anak (PROVILA).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan, “Dengan capaian yang menggembirakan ini, semoga penghargaan ini tidak hanya dilihat sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai penyemangat untuk semakin maju dalam memenuhi hak dan melindungi anak di daerah masing-masing”
Pembangunan Kota Layak Anak digagas pemerintah sebagai upaya untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing serta Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030 dan Indonesia Emas 2045. Melalui KemenPPPA, pemerintah mengimplementasikan kebijakan pembangunan KLA untuk memastikan terpenuhinya hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, mendapatkan perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, serta perlakuan salah lainnya, serta berpartisipasi aktif menyuarakan aspirasi dalam setiap keputusan yang menyangkut dirinya. Pemenuhan hak-hak tersebut sifatnya sangat kompleks dan multisektoral.
Sehingga komitmen lintas sektor menjadi hal yang sangat esensial. Ditambah payung hukum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak, pelaksanaan program KLA di Indonesia menjadi lebih kuat dan ini akan memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk berinovasi, berkreasi sebanyak mungkin agar Program KLA dapat berkembang sesuai dengan potensi dan kearifan lokal masing-masing daerah.
Selayaknya kebijakan pemerintah di bidang lainnya, kebijakan inipun wajib dikritisi, sebab faktanya kekerasan terhadap anak tak kunjung turun malah makin beragam modus dan makin banyak korban. Hal ini jelas
mengindikasikan kegagalan negara dalam melindungi anak dan kemandulan program KLA untuk memberi jaminan sistem dan lingkungan yang dibutuhkan anak.
Gagasan ini ternyata berasal dari ratifikasi pemerintah terhadap kebijakan UNICEF yang memiliki tujuan untuk memenuhi hak-hak dasar anak Indonesia. Mengusung program dengan fokus utama mendukung bantuan teknis, penguatan kapasitas, advokasi, formula kebijakan dan promosi isu-isu anak di Indonesia untuk menuntaskan jutaan permasalahannya.
Menurut UNICEF, kota ramah anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Kota yang diinginkan oleh anak-anak adalah kota yang dapat menghormati hak anak-anak yang dapat diwujudkan dengan cara: Menyediakan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi yang sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan. Menyediakan kebijakan dan anggaran khusus untuk anak. Menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman sehingga memungkinkan anak dapat berkembang. Keseimbangan di bidang sosial, ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh kerusakan lingkungan dan bencana alam. Memberikan perhatian khusus pada anak yang bekerja di jalan, mengalami eksploitasi seksual, hidup dengan kecacatan atau tanpa dukungan orang tua. Adanya wadah bagi anak-anak untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan anak-anak.
Maka butuh kemitraan, pemerintah kab/kota untuk menjamin terwujudnya kota layak anak. Kemitraan yang dijalin melibatkan sektor swasta, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah kota dari masing-masing departemen atau sektor, lembaga non-pemerintah, dan masyarakat sipil.
Sejatinya kebijakan ini hanyalah kamuflase Barat untuk menyibukkan pemerintah pada hal-hal yang seolah-olah paling pokok. Sebab, secara teknis pemerintah menyerahkan pelaksanaan kebijakan ini kepada setiap daerah, provinsi sesuai potensi dan kearifan lokal masing-masing. Jelas tidak akan terjadi pemerataan, karena wilayah yang surplus dana akan mampu memenuhi segala persyaratan yang harus ada sebagaimana yang ditetapkan UNICEF, semisal menyediakan akses air bersih dan pendidikan. Terlebih ketika dilombakan, anak hanya menjadi objek perlombaan, dan setiap langkah teknis hanya prosedural semata menuju kemenangan.
Apa yang dipersyaratkan UNICEF sejatinya ada pada pundak negara, karena akar persoalannya hanyalah jaminan pemenuhan kesejahteraan yang terabaikan. Sehingga yang rentan menerima dampaknya adalah anak-anak dan perempuan. Kasus kekerasan seksual contohnya, bukan semata karena paksaan, namun juga tuntutan ekonomi. Banyak anak-anak yang sengaja menjajakan diri demi sekolah, membantu keuangan keluarga dan bukan hanya kenikmatan.
Terlebih adanya kesenjangan sosial yang sangat besar antara kaya dan miskin sangat tidak ideal untuk tumbuh kembang anak. Kapitalisme yang diterapkan telah menjadikan manfaat materi di atas segala-galanya, pendidikan mahal, sandang, pangan dan papan pun mahal, air dan listrik tarifnya tak pernah turun, kesehatan apalagi. Pemerintah menyerahkan pada pihak swasta dengan skema asuransi. Artinya rakyatlah yang membiayai biaya kesehatannya. Dan masih banyak lagi.
Sementara yang ditonton masyarakat kebanyakan adalah orang kaya yang mengumbar gaya hidup hedonis, seks bebas, jauh dari agama bahkan nikah beda agama atau perilaku menyimpang kaum Sodom menjadi gaya hidup. Dimana negara? Hanya sebagai pembuat regulasi kebijakan. Contoh nyata adalah peraturan pemerintah terkait pembangunan kota layak anak ini.
Belum lagi jika bicara keamanan. Hukum di negara ini tak mampu mewujudkan keadilan. Kasus Sambo berjalan lambat, Koruptor bebas dengan remisi, makin kesini makin terlihat hukum ini tumpul ke atas tajam ke bawah. Wajarlah jika rakyat cenderung main hakim sendiri.
Islam Sistem Suport Terbaik Sejahterakan Anak
Yang tampak indah belum tentu yang terbaik, apa yang digagas UNICEF tak lebih dari jargon kosong tanpa bukti. Sebab, di dunia ini masalah kekerasan anak dan bahkan trafiking anak dan perempuan adalah komoditas, tak bisa diberantas sebab permintaan dan penawaran masih tinggi. Kapitalisme lagi-lagi yang menjadi biang keroknya. Asas sekulerismenya menjadikan halal haram bukan halangan. Konflik itu diciptakan, krisis dipelihara. Inilah sejatinya yang terjadi, dengan Barat sebagai pelaku utamanya. Mencampuri urusan dalam negeri negara lain, dengan maksud menancapkan hegemoni kapitalisme yang diembannya.
Islam memandang persoalan anak berikut kesejahteraannya secara holistik dan komperehensif, sebab Islam tak sekadar akidah melainkan juga terpancar peraturan darinya. Anak adalah aset negara yang luarbiasa. Maka, perlindungan utama akan diberikan agar generasi penerus bangsa ini memiliki kualitas terbaik.
Islam akan menerapkan dua hal, yaitu tindakan preventif dan kuratif. Tindakan preventif dengan sistem pendidikan dan ekonomi yang diselenggarakan sesuai syariat Islam. Kurikulum pendidikan berdasarkan akidah, sehingga terbentuk sosok berkepribadian Islam yang bertakwa, cerdas dan mandiri. Menguasai sains dan teknologi sehingga bisa berkontribusi untuk kemaslahatan umat.
Sistem ekonomi, yang berbasis pada ekonomi riil menjadikan negara sebagai pengelola kekayaan umum dan negara berupa sumber daya alam, zakat, kharaz, jizyah, fa’i dan lainnya. Hasil dari pengelolaan dikembalikan kepada rakyat, baik berupa BBM murah atau pembiayaan pembangunan sekolah, masjid, rumah sakit, pembayaran gaji pegawai dan tentara dan lainnya yang termasuk dalam kebutuhan kolektif lainnya.
Tindakan kuratif adalah dengan penerapan hukum dan sanksi berdasarkan syariat, hukum buatan Sang Maha Bijaksana dan Kuat, Allah swt. Sehingga, apa yang menjadi gangguan pelaksanaan jaminan kebutuhan pokok umat bisa terlaksana dengan seharusnya. Jelaslah, kebijakan yang tidak berpijak pada asas yang benar,kapitalisme sekuler tak akan bisa mewujudkan kesejahteraan yang mampu menjadi tameng anak-anak masyarakat Indonesia. Maka harus dicabut hingga ke akarnya dan diganti oleh syariat Islam. Wallahu a’lam bish showab.
Editor :Esti Maulenni