Hakim Agung Terseret OTT, Bukti Ilusi Sempurna Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
Foto ilustrasi. Sumber net.
Leihana_Ibu Pemerhati Umat
Menunggu pemberatasan korupsi di Tanah Air hingga tuntas sepertinya harus menyiapkan hati yang siap terluka. Sebab jalan pemberantasan korupsi di Tanah Air adalah jalan lirih yang tak pernah berujung.Tidak bisa dinantikan dengan kesabaran dan keteguhan, korupsi di Tanah Air telah menggurita selalu melekat dan sulit dilepaskan.
Bagaimana tidak? Setelah sebelumnya diberitakan pembebasan bersyarat para koruptor yang mendapat remisi hukuman, bahkan mantan narapidana tipikor ini masih bebas melenggang dalam pentas pemilihan umum menunjukkan wajah aturan di Indonesia yang ramah terhadap para koruptor–ini akan mengundang kejahatan korupsi terus berulang. Bukan hanya aturan yang tidak bergigi mencegah tindak korupsi, bahkan aparatur hukum di Tanah Air saat ini sudah menjadi praktisi langsung tindak korupsi.
Seperti yang telah terjadi dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 21 September lalu di Jakarta dan Semarang, yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka lima orang dari sepuluh orang tersangka tersebut adalah pegawai Mahkamah Agung (MA) bahkan satu orang di antaranya adalah seorang hakim agung. Hakim agung tersebut adalah Sudrajad Dimyati yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap perkara. Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap bahwa fenomena mafia peradilan ini "sudah menjadi rahasia umum". (kompas.com, 25 September 2022)
Sudrajad Dimyati bukan kasus pertama hakim yang tertangkap OTT oleh KPK, beberapa waktu sebelumnya ada kasus hakim yang telah terjaring dan divonis bersalah dalam kasus korupsi, di antaranya hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Syarifuddin Umar, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang Wahyu Widya Nurfitri, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Lima hakim yang tertangkap tangan melakukan korupsi ini terlibat kasus suap perkara, baik perdata maupun uji materi perundang-undangan. (merdeka.com, 23 September 2022)
Bukan hanya menuai kritik besar dari masyarakat pada kasus Hakim MA tertangkap OTT, tetapi juga membuahkan kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. Sebab kasus tersebut menjadi indikasi betapa menggurita korupsi di negeri ini, bahkan sudah menjangkiti penegak keadilan di tingkat tertinggi.
Kepada siapa lagi masyarakat berharap memperoleh keadilan jika aparat hukum dan peradilan di Tanah Air kini gemar berbuat perilaku tidak adil seperti penyuapan untuk memenangkan pihak-pihak yang memiliki uang semata?
Memang yang tidah bisa diharapkan bukan semata aparat peradilan dan penegak hukumnya saja. Sebab, permasalahan korupsi adalah permasalahan sistem yang merupakan cacat bawaan sistem demokrasi kapitalisme sendiri. Sehingga permasalahan korupsi ini tidak mungkin diberantas tuntas meski ada lembaga super antikorupsi sekalipun. Sebab kemunculan kasus korupsi ini disebabkan oleh terbukanya sistem yang diterapkan di Indonesia untuk para kapital pemilik modal berlaku bebas semaunya.
Musnahnya kasus korupsi di Indonesia benar-benar menjadi ilusi yang sempurna jika negara tidak mengganti sistem aturannya. Untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya negeri ini membutuhkan kembalinya sistem Islam yang mewujudkan pemberantasan korupsi dari akar hingga daun. Sebab dalam Islam mencegah tindak korupsi terjadi dari individunya yang diwajibkan bertakwa dan takut pada Allah–termasuk melakukan tindak korupsi yang diancam dengan hukuman di dunia dan akhirat dengan sanksi yang membuat jera–karena negara khususnya khalifah sebagai pemimpin dapat menetapkan takzir (sanski hukum atas pelanggaran syariat Islam) yang membuat jera dapat berupa hukuman cambuk, kurungan denda, hingga hukuman mati sekalipun.
Islam mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol dengan adanya aktivitas dakwah termasuk pada penguasa yaitu muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa) yang dapat dilaporkan pada Mahkamah Mazalim (peradilan bagi aparat pemerintahan yang berbuat zalim) yang berwenang hingga memecat khalifah sekalipun, jika melanggar aturan syariat Islam. Hal yang terpenting Islam mewajibkan negara sebagai penerap hukum untuk memberi sanksi yang berat bagi pelaku tindak korupsi yang merugikan rakyat banyak.
Untuk mewujudkan harapan tuntasnya kasus korupsi di Tanah Air perlu perjuangan penegakan syariat Islam secara kafah di bawah naungan Khilafah.
Wallahualam bissawab.
Editor :Esti Maulenni