Benarkah Banjir Hanya Sekedar Takdir?

Banjir disalah satu daerah di Indonesia.
Tak terbendung air hujan memenuhi pelosok pemukiman, banyak rumah yang terendam betapa nasib penduduk begitu kelam.
Adalah banjir, salah satu masalah yang menjadi rutinitas juga langganan dan terus berulang di berbagai wilayah di Indonesia. Ironisnya banjir tidak hanya memberi dampak penduduk negeri kehilangan harta, benda, tetapi bahkan di Ibu Kota Jakarta banjir juga menyebabkan kehilangan nyawa.
Mengutip dari Liputan6.com, Ahad (08/10/2022). Banjir yang terjadi di Jakarta sampai ada yang menyebabkan meninggal dunia. Di mana, berdasarkan kesimpulan sementara BPDB DKI Jakarta, tembok rubuh di MTSN 19 Jakarta yang membuat siswa luka dan meninggal dunia, lantaran tak bisa menahan volume air yang sudah meluap.
Memang hari ini banyak penduduk negeri menganggap bahwa bencana banjir yang menjadi agenda rutin di negeri ini adalah takdir. Akan tetapi, perlu digarisbawahi penelaahan bencana dari sudut pandang tersebut tidak bisa digeneralisir. Jika kita telaah lebih dalam masalah banjir bukan hanya sekadar takdir.
Sebab, manusia juga turut menjadi faktor penyebab dari datangnya bencana tersebut. Kita tahu Allah memang berkehendak menurunkan hujan dengan curah hujan yang deras, tetapi masalah bagaimana mengelola curah hujan yang deras tersebut itu menjadi ranah yang dikuasai manusia.
Jakarta merupakan wilayah yang padat penduduk. Bagaimana tidak? Penduduk yang tinggal di Ibu Kota bukan hanya sekadar warga asli Jakarta saja, ibaratnya dari Sabang, sampai Merauke banyak yang berbondong-bondong mengadu nasib di sana. Akibatnya, kebutuhan akan tempat tinggal meningkat. Bagi warga kurang mampu banyak dari mereka yang membangun tempat tinggal di bantaran sungai, sementara bagi warga yang memiliki kecukupan harta, mereka tinggal di apartemen, yang di mana itu menjadi alasan semakin banyak dibangun gedung-gedung pencakar langit tanpa peduli amdal.
Diakui ataupun tidak negara hari ini cenderung mengarah kepada sistem kapitalisme sekuler yang memiliki mindset untung rugi dalam hal mengelola negara, maka dengan mindset kapitalisme amdal tidak jadi prioritas, tetapi yang terpenting bagaimana bisa membangun apartemen ataupun perusahaan yang bisa mendatangkan keuntungan.
Tidak peduli dengan tata ruang meski tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati bantaran sungai, keserakahan oligarki juga para penguasa mendorong mereka melakukan perusakan ekologis secara ugal-ugalan, hingga daerah yang semestinya menjadi resapan air justru dibangun gedung hingga mall yang menjulang tinggi. Laju pembangunan yang tak terkendali akibat nafsu para kapitalis inilah yang menyebabkan hilangnya daerah resapan air di Ibu Kota, yang akhirnya ketika turun hujan dengan curah yang deras sudah pasti akan mendatangkan banjir.
Ironis, ketika banjir melanda pun negara seakan-akan kurang serius dalam tanggapi bencana, mulai dari sistem anggaran yang tidak adabtable untuk atasi bencana, abainya petugas dan pejabat dalam hal mengawasi infrastruktur, ditambah penguasa juga politisi yang tidak hadir untuk mengurusi dan menjamin kemashlahatan rakyat, menjadikan masalah banjir ini semakin kompleks.
Perlu kita pahami bahwa, banjir adalah masalah sistemis, maka dalam hal menuntaskan masalah sistemis solusinya pun harus sistemis. Tidak cukup dengan ikhtiar teknis, seperti yang saat ini digalakkan semacam “less waste” tetapi diperlukan pembenahan mindset dalam pengurusan negara mengubah pola mengurus negara tidak dengan asas untung rugi.
Hanya di dalam Islam di mana seorang pemimpin negara tidak menakar untung rugi dalam hal mengurus urusan rakyatnya. Para penguasa di dalam sistem Islam bertugas melayani rakyat, bukan memperkaya diri. Adapun untuk memperbaiki masalah banjir, negara yang menerapkan sistem Islam akan menggelontorkan teknologi tercanggih untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Membangun negara tentu memerlukan dana yang banyak, lantas dari mana negara Islam mendapatkan dana tersebut? Jawabannya yakni dari sumber daya alam yang dimiliki kaum muslim, bukan dari utang kepada asing. Di dalam Islam semua sumber daya kepemilikian umum tidak boleh diprivatisasi, tetapi semua dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat, termasuk membangun infrastruktur terbaik anti banjir.
Negara dengan sistem Islam juga akan mengatur warganya agar memiliki kontrolling yang kuat senantiasa menjaga alam dengan penuh kesadaran tidak membuang sampah sembarangan paham bahwa kebersihan sebagian dari iman, tidak hanya itu masyarakat dalam sistem Islam pun tidak individualis, tetapi akan saling mengingatkan satu sama lain untuk menjaga lingkungan, negara pun tidak tinggal diam, tetapi juga melakukan sosialisasi kepada warganya, belum cukup sampai di bawah komando khalifah, negara akan menunjuk para pakar yang kompeten untuk mengerahkan segala potensinya menyelesaikan problematika banjir.
Adapun jika sudah mengupayakan yang terbaik tetapi tetap banjir, maka berarti itu memang qada dari Allah dan muslim wajib bersabar atasnya. Sebab, Allah memang akan menguji hamba-Nya dengan musibah; dan bagi orang yang sabar menghadapinya insyaallah Allah berikan kabar gembira.
"Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali)." Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."
(TQS. Al-Baqarah 2: 155 - 157)
Begitulah kebijakan yang diambil negara yang menerapkan sistem Islam secara kafah. Maka, agar masalah banjir bisa ditangani dengan tuntas, sudah saatnya kita berjuang bersama-sama menegakkan sistem Islam di muka bumi.
Wallahualam bissawab.
Penulis: Ranti (Aktivis Muslimah).
Editor :Esti Maulenni