Asing Menguasai Kekayaan Bumi Cenderawasih, Warga Pribumi Semakin Tersisih

Foto anak Indonesia.net
Menukar emas dengan tembaga, adalah bentuk perbuatan yang menggambarkan kebodohan. Hal itu pun serupa dengan keputusan yang diambil pemerintah Indonesia, yaitu sejak 7 April tahun 1967 atau belum genap dua bulan Presiden Soeharto resmi menjadi presiden kedua Indonesia, Soeharto memberikan izin kepada Freeport Sulphur of Delaware untuk menambang di Papua.
Secara resmi PT Freeport Indonesia ini baru dapat melakukan penambangan pertamanya di Pertambangan Erstbergh pada Maret 1973. PT Freeport ini diberikan izin menambang selama 30 tahun dengan skema kontrak karya sejak tahun 1973.
Dalam kontrak karya pertama disepakati, royalti untuk pemerintah Indonesia dari penambangan tembaga yang dilakukan Freeport sebesar 1,5 persen dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari 0.9 dollar AS/pound) sampai 3,5 persen dari harga jual (jika harga 1.1 dollar AS/pound). Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1 persen dari harga jual. Jelang Kontrak Karya berakhir, Freeport menemukan cadangan Grasberg atau tepatnya pada periode tahun 1980–1989, pertambangan Grasberg ini disebut-sebut sebagai cadangan emas terbesar di dunia.
Mengetahui itu di tahun 1991 pada waktu habisnya kontrak karya pertama ini pemerintah Indonesia tidak berusaha mengambil alih kekayaan alam luar biasa tersebut, tetapi justru tetap memperpanjang kontrak karya periode kedua pada 30 tahun selanjutnya hingga tahun 2021(kompas.com, 4 Oktober 2020).
Ibarat terjatuh di lubang yang sama, kebodohan yang dilakukan rezim sebelumnya tetap diulang kembali pada pemerintahan saat ini. Sudah jelas kontrak karya pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indopnesia selama hampir setengah abad lamanya merugikan negara Indonesia, khususnya warga pribumi yang sejak awal berseteru dengan PTFI terutama suku Amungme.
Ketika kontrak karya itu akan segera berakhir di tahun 2021 pemerintahan pada tahun 2018 justru memutuskan melakukan akuisisi 51% saham PTFI melalui PT Inalum (Persero) sebesar USD 3,85 miliar. Artinya pemerintah bukan hanya memperpanjang kontrak karya dengan PTFI hingga tahun 2041, tetapi juga harus mengeluarkan dana besar untuk memiliki sebagian besar saham PTFI yang sebenarnya aset kekayaan yang dikelola PTFI sendiri adalah milik rakyat Indonesia. Dengan alasan pemerintah akan mendapatkan pembagian keuntungan (deviden) yang lebih besar dari PTFI.
Pemerintah merasa bangga telah mengakuisisi sebagian besar saham PTFI karena kelak akan mendapat keuntungan besar yang modal akuisisinya saja akan break event point atau balik modal pada tahun 2024.
Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia saat ditemui usai memberikan orasi ilmiah di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 5 Oktober lalu, ungkapnya tentang akuisisi saham PTFI. "Ingat, kalau dividen begini terus, akuisisi saham 51 persen itu maksimal 5–6 tahun terjadi break even point tahun 2024–2025. Kalau dia pakai untuk mengembalikan saja bisa selesai itu." (kumparan.com, 6 Oktober 2022)
Pemerintah berbangga mungkin karena akan mendapatkan keuntungan lebih besar sebagaimana yang digambarkan oleh Chairman of the Board and CEO Freeport McMoRan, Richard C. Adkerson bahwa keuntungan langsung yang akan diterima oleh pemerintah Indonesia hingga tahun 2041 akan mencapai USD 80 miliar atau setara Rp1,241 triliun. Seperti yang disampaikannya saat melakukan orasi ilmiah di Institute Teknologi Sepuluh November pada 4 Oktober lalu. "Tapi ke depan, dengan operasi kita yang semakin luas, dan pasar copper yang semakin positif, untuk 20 tahun ke depan kita akan memberikan USD 80 miliar dalam bentuk faedah langsung." (kumparan.com, 7 Oktober 2022)
Namun, perlu diingat Freeport menjanjikan keuntungan yang makin besar untuk Indonesia melalui penambahan investasi. Sehingga tidak gratis bagi pemerintah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar berkat akuisisi saham yang harus dibayar dari uang APBN juga. Padahal sejatinya sebesar apa pun yang diberikan Freeport, Indonesia tetap rugi besar, karena harta miliknya dikuasai asing. Apabila kekayaan alam di Papua dikelola seluruhnya oleh pemerintah Indonesia, maka seluruh keuntungannya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan segenap rakyat Indonesia.
Pengelolaan SDA oleh asing, hanya akan menguatkan penjajahan ekonomi dan jelas membuat rakyat makin menderita. Tidak heran suku asli dari daerah Papua menentang pengelolaan pertambangan emas di Tembagapura dikelola oleh Freeport karena yang menjadi dampak langsung bagi warga pribumi justru kerusakan alam dan limbah dari pengelolaan pertambangan tersebut.
Bahkan ekosistem di Pegunungan Jaya Wijaya dikabarkan telah berubah. Sedangkan faedah tidak langsung yang diklaim oleh Freeport sebesar 27% keuntungan Freeport berupa pembangunan fasilitas jalan dan transportasi plus upah dan kesejahteraan pegawai WNI yang merupakan warga pribumi tidak lebih dari bagian modal usaha yang harus dikeluarkan setiap perusahaan dan akan diperhitungkan dalam perhitungan untung rugi perusahaan.
Jika seluruh kekayaan alam dikelola pemerintah dan keuntungannya disalurkan untuk kesejahteraan rakyat dan menjaga lingkungan sekitar maka faedah yang didapatkan bisa melebihi 27% dari keuntungan Freeport.
Tentu saja menyerahkan kekayaan alam dan dengan susah payah membeli saham perusahaan asing yang menggunakan kekayaan alam negeri sendiri hanya terdapat pada sistem kapitalisme saja.
Sebab, dalam sistem kapitalisme diperbolehkan bagi pihak swasta asing menguasai dan mengelola harta milik rakyat dan negara selama pihak asing dan swasta tersebut memiliki modal yang cukup untuk mengompensasi harta tersebut.
Hanya dalam sistem ekonomi Islam, pengelolaan SDA akan optimal dan maksimal, membawa keuntungan untuk masyarakat. Sebab, dalam sistem Islam kekayaan alam seperti pertambangan emas, perak, dan tembaga dalam jumlah besar itu adalah milik umat yang hanya boleh dikelola oleh negara sebagai wakil umat dan keuntungan dari pengelolaannya hanya boleh dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat semata.
Untuk membawa kembali kekayaan alam negeri ini dari kekuasaan asing ke pangkuan rakyat hanya bisa terjadi jika negeri ini menerapkan sistem Islam secara kafah.
Wallahualam bissawab.
Penulis: Leihana (Ibu Pemerhati Umat)
Editor :Esti Maulenni