IDOLA, Paradoks Kekerasan Anak Di KLA

Foto ilustrasi. Sumber net.
Rut_Institut Literasi dan Peradaban
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa pemenuhan hak dan perlindungan anak di Tanah Air perlu menjadi prioritas bersama. Karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terus mengajak semua pihak berperan melalui sinergi dan kolaborasi bersama dalam rangka perlindungan anak Indonesia.
Muncullah partisipasi dari Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI) 2022, yang diharapkan bisa mendukung upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak serta program kabupaten/kota layak anak di berbagai daerah, hal ini juga dalam rangka menciptakan Indonesia Layak Anak (IDOLA) melalui program penghargaan KLA ( Kota Layak Anak). (Republika.co.id, 16/10/2022).
Targetnya adalah Indonesia Layak Anak 2030. “Semua pihak diharapkan dapat terus meningkatkan kepedulian dan peran aktif dalam rangka pemenuhan hak anak dan mendorong terciptanya Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030,” kata Bintang
Ketua APSAI periode 2022-2027 Wida Septarina mengatakan pihaknya akan terus memperkuat sinergi guna memastikan adanya kesatuan langkah pusat dan daerah untuk percepatan target Indonesia Layak Anak 2030. “Kami berkomitmen dalam mendukung upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak serta mendukung upaya percepatan target Indonesia Layak Anak 2030,” katanya.
Saat ini APSAI telah berdiri di 19 propinsi, 58 kabupaten/kota dan beranggotakan 1440 perusahaan anggota di seluruh Indonesia. Wida Septarina mengatakan, program 100 hari pengurus terpilih adalah melakukan konsolidasi internal organisasi untuk memastikan adanya kesatuan langkah pusat dan daerah untuk percepatan target Indonesia Layak Anak 2030.
Sekilas, program IDOLA ini bakal memberikan secercah harapan bagi anak Indonesia untuk hidup lebih baik, bahagia dan sejahtera. Bahkan penghargaan diberikan kepada kota provinsi atau kabupaten yang mampu bersaing mewujudkan seluruh kriteria Kota Layak (KLA). Harapannya pulaz dengan program ini angka kekerasan anak bisa berkurang.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sendiri, sepanjang tahun 2021 telah mencatat setidaknya ada 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni). Menteri PPPA Bintang Puspayoga menyebutkan, dari jumlah tersebut, bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak adalah kekerasan seksual yaitu sebanyak 7.004 kasus. Bisa terjadi di lingkungan keluarga, masyarakat bahkan di lembaga sekolah.
“Kekerasan terhadap anak sebanyak 11.952 kasus dengan kekerasan seksual sebanyak 7.004 kasus. Hal ini berarti 58,6 persen kasus kekerasan terhadap anak adalah kasus kekerasan seksual,” kata Bintang dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR, Kamis (kompas.com,24/3/2022).
Masih menurut data Kemen PPPA), provinsi dengan jumlah korban kekerasan tertinggi di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Namun anehnya, ketiga kota ini masih mendapatkan penghargaan KLA tahun 2022 . Tahun ini sebanyak delapan kabupaten/kota meraih penghargaan kategori Utama, yaitu Kabupaten Siak, Kota Jakarta Timur (Jawa Barat), Kabupaten Sleman (Jawa Tengah), Kota Probolinggo (Jawa Timur), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Surakarta (Jawa Tengah), Kota Yogyakarta (Jawa Tengah), dan Kota Denpasar.
Bupati Sleman (Jawa Tengah), Kustini Sri Purnomo, bahkan mengungkapkan kebahagiannya atas pencapaian penghargaan kategori Utama setelah tiga (3) kali mendapatkan penghargaan kategori Nindya. Mengapa jika kasus kekerasan anak masih tinggi, penghargaan itu hingga tiga kali dan tidak dicabut. Apa sebenarnya katagori layak anak yang kemudian bisa mengantarkan sebuah daerah menjadi pemenang? Apakah ini hanya simbolisasi? Proyek ala-ala penghargaan agar nampak berdaya? Bukankah ini sama saja dengan pembohongan publik?
Kapitalisme Sumber Persoalan
Jelas, IDOLA adalah ambisi besar negeri ini, sayangnya tak disertai langkah nyata. Penghargaan KLA pun hanya formalitas, karena faktanya banyak Kabupaten/kota peraih penghargaan KLA, namun kekerasan terhadap anak masih saja terjadi, yang seharusnya jika disesuaikan dengan format penghargaannya, kota tersebut tak ada lagi kekerasan, riil bukan data bak fenomena gunung es. Benar-benar anak hidup layak, sejahtera dan menerima hak-haknua dengan bahagia. Sebaliknya, setiap kali berita muncul, kekerasan anak selalu menyertai. Paradox!
Penghargaan kota layak anak tidak lantas dicabut atau dibatalkan. Makin nyatalah kalau IDOLA hanya sekedar mengejar gelar, namun tanpa aksi nyata maka Indonesia tak akan pernah mencapai IDOLA yang hakiki, kecuali hanya lips servis petinggi pemerintahannya.
Harus diakui, inilah yang dihasilkan ketika mengadopsi sistem kapitalisme dalam mengatur kesejahteraan rakyat. Peran negara hanya sebagai regulator, mengeluarkan kebijakan kemudian sibuk mendorong berbagai pihak, termasuk swasta untuk berkontribusi. Padahal, akan sangat berbeda hasilnya antara pekerjaan swasta dan negara. Jika swasta yang jelas hanya untung rugi yang menjadi perhitungannya.
Padahal mewujudkan kota layak anak, bukan dari penghargaan yang lips servis semata, setiap kota atau kabupaten akhirnya hanya berpacu memoles kotanya juga sebatas lips servis tanpa menyentuh akar persoalannya samasekali. Alhasil, tak pernah secara sungguh-sungguh ada suasana layak anak. Terlebih ketika pendanaan untuk kota layak anak mandiri di setiap kotanya, maka kita yang minus, tingkat pendapatan rakyatnya juga minim, teknologi tak menyentuh masyarakatnya makin terpuruk. Lantas pertanyaannya, tidak layakkah anak di kota ini mendapatkan prioritas?
Islam Pelindung Hakiki Anak
Perlindungan anak hanya dapat terwujud dalam naungan Islam, karena Islam memiliki mekanisme berlapis lapis dalam menjaga keselamatan anak dan mewujudkan permindungan secara nyata. Sebab, dalam pandangan Islam anak sangatlah berharga, merekalah kelak yang memegang kendali peradaban ketika kita tak lagi di dunia.
Maka, Islam mewajibkan negara sebagai institusi tertinggi menjamin kesejahteraan anak, mulai dari menjamin kesejahteraan secara menyeluruh dari aspek sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Anak tumbuh dari keluarga yang paham visi misi mereka di dunia, namun keluarga juga rentan serangan dari luar.
Fakta bagaimana anak-anak hari ini banyak yang harus turun di jalanan, putus sekolah membantu orangtua mereka mencari nafkah. Di tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi, terjerat narkoba, free seks dan tindakan kriminal lain karena situasi perkotaan, tuntutan standar kebahagiaan ala kapitalisme memaksa para orangtua mati-matian berkerja.
Negara wajib menyelenggarakan pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah. Sebab, tujuan pendidikan adalah mencetak generasi yang berkepribadian Islam. Dimana pemikiran dan perilakunya kokoh, tak mudah goyah oleh pemikiran asing yang merusak. Wallahu a’ lam bish showab.
Rut_Institut Literasi dan Peradaban
Editor :Esti Maulenni