Demi Konten dan Popularitas Haruskah Anak Dieksploitasi?

foto ilustrasi. net
Bak jamur yang tumbuh di musim hujan. Itulah peribahasa yang layak disematkan pada realitas saat ini. Faktanya beberapa bulan terakhir makin menjamur saja konten-konten di media sosial. Mulai dari ibu-ibu rumah tangga, para bapak, artis, mahasiswa-mahasiswi, pelajar, bahkan nenek dan kakek pun turut andil di dalamnya. Tak ketinggalan pula belakangan ini seorang Youtuber terkenal telah membuat konten bersama suami dan buah hatinya saat mereka liburan. Hanya saja unggahannya itu menuai banyak kritikan dari netizen.
Sebagaimana berita yang dilansir oleh Liputan6.com, pada 6/1/2023, kritikan untuk Ria Ricis dan suaminya Teuku Ryan belum berhenti. Pasalnya, pasangan ini mengajak bayinya Moana yang berusia 5 bulan untuk naik jetski dengan sedikit mengebut ke tengah laut.
Sebagaimana video yang diunggah Ria Ricis dalam akun Instagram pribadinya, tampak Moana digendong oleh Teuku Ryan yang mengendarai jetski. Ria Ricis dan Teuku Ryan menggunakan pelampung, sedangkan Moana (5 bulan) tidak menggunakan pelampung.
Tak cukup hanya itu, Ria Ricis dan Teuku Ryan juga mengajak Moana bermain ATV (all-terrain vehicle) dengan menggunakan gendongan. Moana tampak mengantuk di gendongan Ria Ricis dan akhirnya tertidur di ATV.
"Tenang, Moana. Ibu akan melindungi Moana 24 jam, sebisa ibu. Ibu akan terus melindungi Moana, Moana jangan takut ya. Moana harus jadi anak pemberani --- Mau dilatih berani," ujar Ria Ricis sambil menggendong bayinya saat bermain ATV.
Tentu saja kedua video tersebut banjir komentar berupa kritikan dari warganet. Sejumlah 17 ribu komentar bertengger dalam video naik jetski dengan bayi yang diunggah Ria Ricis. Selain itu, hampir lima ribu kritikan juga diperoleh Ria Ricis dan Teuku Ryan akibat main ATV.
Ibaratnya kemarau setahun dihapus oleh hujan sehari. Sejumlah like dan komen yang biasanya diterima dan imbasnya menambah tebal kantong mereka, kini berbalik menjadi kecaman atas apa yg dilakukannya.
Banyak netizen yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan Ria Ricis dan Teuku Ryan sangat berbahaya untuk anak usia 5 bulan. Apalagi Moana dipastikan belum mengerti, apa dan untuk apa permainan itu. Selain itu, jika mengacu pada aturan naik jetski, tindakan Ria Ricis dan suami memang keliru. Sebagaimana dikutip dari laman Jet Drift, kebanyakan negara memang tidak memiliki batasan resmi untuk penumpang jetski. Namun, ukuran tubuh anak sangat penting saat hendak berada di atas jetski.
Bertolak dari fakta di atas bisa diketahui, popularitas telah menjadi salah satu tujuan yang ingin diraih dalam kehidupan saat ini. Mirisnya, popularitas menggiring seseorang abai akan hal-hal yang harus dijaga, lebih-lebih atas keselamatan anaknya sendiri. Bahkan dorongan eksistensi diri bisa menjadi hal yang membahayakan keselamatan. Demikianlah, arus kehidupan semacam ini yang justru menguasai masyarakat.
Alhasil, inilah kenyataan yang terjadi pada masyarakat yang memiliki pola pikir kebahagiaan di atas segalanya. Kebahagiaan atas liburan yang diadakan bersama sang buah hati. Namun, sejatinya kebahagiaan yang diraihnya nihil dalam memikirkan bahaya yang mengancam. Bahkan tidak mengindahkan aturan yang diberlakukan.
Tentu saja peristiwa seperti ini mudah sekali terjadi di masyarakat negeri ini. Masyarakat yang negerinya menjadi pengusung liberalisme dan kapitalisme. Dimana kebebasan dan manfaat secara materi menjadi asas dalam menjalani kehidupannya, sehingga aturan apa pun yang dibuat berpeluang untuk dilanggar dengan dalih ada manfaat di dalamnya.
Apalagi konsep yang dipakai berdasarkan pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak boleh turut campur dalam urusan kehidupan. Agama hanya mengatur urusan ibadah mahda, sedangkan untuk urusan ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan, kesehatan, politik, dan keamanan diatur oleh manusia sendiri.
Kondisi semacam ini jelas berpeluang bagi terjadinya perselisihan dan perdebatan, karena masing-masing individu berpegang teguh atas kebebasan yang menjadi patokan dalam bertingkah laku. Oleh karena itu lahirlah perbedaan pendapat, percekcokan, perselisihan, bahkan perkelahian. Hal ini wajar terjadi karena sesungguhnya liberalisme dan kapitalisme itu tidak sesuai dengan fitrah manusia, tidak memuaskan akal, dan tidak menenteramkan jiwa.
Berbeda halnya dengan Islam. Islam sebagai sebuah sistem memiliki serangkaian aturan yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu, makhluk sosial, maupun makhluk Allah Swt. Sebagai sebuah sistem, Islam juga mengatur persoalan ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, kemasyarakatan, dan keamanan. Termasuk dengan persoalan orang tua dan anak, Islam demikian rinci dalam mengaturnya.
Anak dalam pandangan Islam diartikan sebagai seseorang yang belum mencapai usia baligh. Sebagaimana yang dijelaskan dalam suatu hadis: Rasulullah saw. bersabda: "Pena -pencatat amal- itu diangkat dari tiga: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa (yahtalima), dan dari orang gila sampai ia sadar" (HR Baihaqi). Kata yahtalima bermakna orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam).
Konsekuensi atas yahtalim dengan makna berstatus baligh ini adalah seseorang yang sudah dikenai beban hukum dan otomatis akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh aktivitas ucapan dan perbuatannya. Adapun anak yang belum baligh maka pertanggungjawaban penuh ada pada kedua orang tuanya. Termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan keamanannya. Oleh karena itu, Islam benar-benar memperhatikan masalah pola pengasuhan terhadap anak ini. Orang tua khususnya ibu menjadi barometer dalam pengasuhan anak-anak.
Dengan demikian seorang muslim (baca: orang tua) harus mau tunduk dan patuh pada aturan-aturan yang telah ditetapkan baik dalam Al-Qur'an, Al-hadis, maupun dalam Ijma', dan Qiyas. Kalaupun ada kejadian yang tidak ada hukumnya dalam keempat sumber hukum tadi, maka terbukalah peluang untuk berijtihad bagi para mujtahid. Itu dilakukan dalam rangka mencari dan menemukan hukum atas suatu perbuatan tadi.
Lalu, dalam praktiknya hukum pun dilaksanakan secara transparan, tegas, dan tidak pilih kasih. Begitu pula dengan adanya sanksi bagi pelanggar, ini akan menjadi jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah-tidak terjadi pelanggaran lagi), sehingga akan menutup celah lahirnya pelanggar-pelanggar baru. Termasuk menutup celah terjadinya eksploitasi anak demi tujuan apa pun.
Dengan demikian, aturan yang diterapkan secara tegas akan memberikan keamanan, ketenteraman, kedamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakatnya, termasuk pada anak-anak. Karena sejatinya Islam itu memuaskan akal, menenteramkan jiwa, dan sesuai dengan fitrah manusia.
Wallahualam bissawab.
Penulis: Nur Syamsiah Tahir_Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK
Editor :Esti Maulenni