Perpanjangan Masa Jabatan Kades, Akankah Menjadi Solusi Tepat?

foto ilustrasi. net
Baru-baru ini mencuat tuntutan sejumlah Kepala Desa, yang meminta agar masa jabatan 1 periode ditambah menjadi 9 tahun. Jika semua itu ditetapkan pemerintah, maka Kades berpotensi memimpin desa kurang lebih 27 tahun. Kondisi yang nyaris sama dengan era Orde Baru, bahwa usaha yang dilakukan pasca reformasi hanya untuk pembaharuan semata. Memberi ruang untuk proses regenerasi kepemimpinan di desa. Termasuk mengatur masa jabatan sebagai bagian dari agenda reformasi, sehingga tidak akan ada peluang kekuasaan absolut.
Atas berbagai pertimbangan, maka struktur pemerintahan di desa harus efektif dan minimalis, menyehatkan juga menyelamatkan demokrasi dari kepungan politik dinasti. Memasuki tahun politik 2024, ini pertanda manuver para pendemo diwaspadai apa motivasinya. Apakah murni dari rakyat, ataukah ada tujuan yang lain. Sebab Kepala Desa sangat rawan dimanfaatkan berbagai pihak.
Dalam konteks demokrasi, permintaan para Kades adalah wajar dan sah-sah saja. Akan tetapi tidak langsung disetujui dikarenakan banyak yang perlu dipertimbangkan. Sebab menambah masa jabatan juga berpeluang besar adanya masalah KKN, hingga penyalahgunaan kewenangan desa. Tidak cukup dengan itu saja, Kepala Desa yang menjabat malah membuat jarak, membajak demokrasi, serta mendiskriminasi rakyat dalam kebijakan. Hal ini perlu dan harus dicarikan jalan keluarnya, bukannya menambah masa jabatan.
Tak berhenti sampai di situ saja, beberapa partai dinilai memanfaatkan keadaan ini. Dengan melakukan praktik dagang, hingga merebut perhatian rakyat. Semua ini karena kepentingan individu menuju pemilu 2024, yang artinya cara politisasi tengah dilakukan. Para Kades yang turun di depan gedung DPR menuntut perpanjangan masa jabatan, disebabkan tergoda dengan tawaran partai politik.
Dilansir www.dpr.go.id, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasko Ahmad menemui massa pengunjuk rasa, yang berasal dari para perangkat desa se-Indonesia. Dalam aspirasinya mereka menuntut revisi Undang-undang Nomor 6 tahun 2014, tentang desa. Beberapa tuntutannya adalah terkait dengan masa jabatan dan moratorium pemilihan Kades, pejabat pelaksana yang ditugaskan hingga permasalahan dana desa.
"Untuk merevisi Undang-undang tersebut, mengenai poin penambahan masa jabatan menjadi 9 tahun tanpa periodesasi itu ada dua yang berkompeten, yaitu pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, mereka juga saya minta untuk melakukan lobi ke pemerintah," ujar Dasko di gedung DPR Senayan, Jakarta. ( Selasa, 17/1/2023)
Tuntutan tersebut mempertegas rumor politik selama ini, yaitu jabatan sebagai lahan basah untuk meraup cuan, sehingga mereka betah berlama-lama menjabat. Hal ini dibuktikan lewat data Indonesia Corroption Watch (ICW), dalam laporan hasil pemantauan tren penindakan korupsi semester 1/2022. Fakta ini menunjukkan bahwa 134 dari 252 kasus yang terungkap adalah, tentang penyalahgunaan anggaran 62 dari 192 kasus menyasar pada desa. Dengan demikian jika masa jabatan diperpanjang, sudah pasti potensi korupsi pun semakin besar.
Terkait dengan permasalahan ini, sepintas terlihat sangat logis dikarenakan singkatnya masa jabatan Kades. Akan tetapi permasalahannya bukan itu saja, melainkan buruknya pengurusan pejabat desa kepada warganya. Berapa pun masa jabatannya jika sistem politik yang menjadi pijakannya demokrasi, maka kebijakan yang lahir pasti bukan untuk kemaslahatan umat.
Sistem politik demokrasi menyebabkan para Kades gagal mengurusi umat, yang hanya menghasilkan miskin visi. Mereka sekedar menetapkan kebijakan sesuai kepentingan diri dan partainya. Di mana sistem ini lahir dari rahim sekulerisme, sehingga para politisi tidak membawa agama dalam berpolitik. Sehingga suap dan sejenis korupsi juga tumbuh subur dan terpelihara, serta menjadi salah satu tujuan dunia yang harus mereka kejar. Sistem demokrasi yang tidak efektif menyelesaikan problem-problem Masyarakat dan berkolerasi meningkatkan taraf hidup warganya. Justru sebaliknya, kebijakan-kebijakan yang lahir benar nyata menyengsarakan rakyat.
Bagaimana integritas pemimpin dan pejabat struktur pemerintahan dalam sistem Islam? Sudah tentu akan tampak nyata, semata-mata untuk mengurusi urusan umat. Mereka akan selalu mengedepankan pengurusan dengan kualitas terbaik, yang didasari penanaman akidah sehingga menancap kuat dalam diri para pejabat, tentunya dengan struktur pemerintahan Islam. Para pemimpin akan memandang bahwa, semuanya adalah amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT.
Hukum Islam sangat efektif dan sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Sehingga tidak akan muncul gap sosial dan ekonomi diantara pejabat masyarakat. Oleh karenanya, sudah sepatutnya rakyat meninggalkan sistem demokrasi, dan beralih untuk menerapkan syariat Islam secara menyeluruh di tengah-tengah kehidupan. Dengan kesempurnaan sistem Islam, akan muncul para pemimpin yang peduli umat termasuk pejabat desa.
Wallahu a'lam bishawab
Editor :Esti Maulenni