ASEAN Bersatu, Akankah Krisis Myanmar Teratasi?

Tahun berganti konflik Myanmar masih stagnan ditempat tanpa ada kemajuan, jutaan pengungsi Myanmar terlunta - lunta di berbagai belahan dunia.
Tahun berganti konflik Myanmar masih stagnan ditempat tanpa ada kemajuan, jutaan pengungsi Myanmar terlunta - lunta di berbagai belahan dunia. Menanggapi krisis ini
Retno Marsudi selaku Menteri Luar Negeri RI
menggelar pertemuan ASEAN Foreign Ministers' Retreat (AMM). Topik yang dibahas rapat ini tentang pandangan dan keputusan para pemimpin ASEAN terkait implementasi lima konsensus soal krisis Myanmar yang disepakati April 2021 lalu. Retno Marsudi menegaskan ASEAN satu suara menangani konflik Myanmar,menyusul sejumlah laporan bahwa anggota asosiasi tersebut tidak satu suara menyikapi krisis di negara tersebut (CNNIndonesia.com, 4/2/23).
Penindasan Myanmar terhadap Muslim diluncurkan sejak akhir tahun 1970-an operasi militer diluncurkan di negara bagian Rakhine. Operasi ini bertujuan untuk mengusir ‘orang-orang asing’ (istilah untuk orang Rohingya yang selalu dipakai oleh junta militer Myanmar). Yang memicu masalah pengungsi Rohingya pertama.
Pada tahun 1982, Undang-Undang Kewarganegaraan setelah pemulangan rohingya semakin memperburuk keadaan orang-orang Rohingya. Setelah pemilihan umum pada tahun 1991, militer melancarkan operasi lain melawan Rohingya. Belakangan, nasionalisme Buddha yang pahit yang didorong oleh kekerasan sektarian menyebabkan lebih banyak orang Rohingya mengungsi pada tahun 2012.
Operasi militer Tatmadaw pada akhir 2016 dan pertengahan 2017 melewati batas kekejaman masa lalu yang mengakibatkan sekitar 800.000 Muslim Rohingya mengungsi dan menjadi pengungsi di negara tetangga Bangladesh. Atas nama nasionalisme, menyebabkan banyak kematian manusia dan penguasaan sumber daya alam. Kondisi Muslim Rohingya sebagai hasil dari penerapan konsep nation state. Nasionalisme yang menjadikan Muslim Rohingya tidak memiliki identitas kenegaraan karena dianggap komunitas ilegal yang mendiami Rakhine, Myanmar.
Nasionalisme menjadi cara ampuh bagi negara Barat dan dunia internasional untuk menghancurkan umat Muslim dari segala lini kehidupan mereka. Bukan hanya itu, hukum-hukum international pun tak memiliki sedikit pun pengaruh untuk dapat digunakan sebagai cara untuk melindungi umat Muslim. Lembaga dunia PBB, ICC, OKI dan lainnya tak memiliki nyali untuk menyelesaikan persoalan umat Muslim di negeri-negeri mereka.
Konflik Myanmar ini setingkat PBB pun juga belum bisa menanganiya, artinya bahwa langkah ASEAN yang bersatu untuk mengatasi krisis ini hanya akan sampai di persimpangan jalan tanpa berhasil ke jalan utama. Power negara-negara ASEAN sangatlah lemah di banding negara adikuasa. Cina, Amerika hingga Ingris adalah aktor di balik krisis panjang Myanmar ini, negara adidaya ini punya kepentingan masing-masing.
Pembicaraan politik lintas negara hanyalah basa-basi demokrasi, pada faktanya kapitalisme demokrasi tidak memiliki solusi atas konflik atas nama apapun. Penjajahan, dan pencaplokan negeri-negeri muslim telah menjadi tabiat negara penganut sistem ini. Mereka dalang dibalik semua konflik ini, kemudian datang bagai pahlwan kesiangan yang menawarkan solusi.
Realitas ini harus dipahami oleh seluruh para pemimpin muslim agar bersatu dan menyatukan suara terhadap berbagai penindasan kaum muslim. Muslim di mata Barat dan antek-anteknya bagaikan duri yang harus disingkirkan, dari Palestina hingga Myanmar mereka digenosida tanahnya di caplok hanya karena mereka Islam.
HAM yang katanya di junjung tinggi dalam demokrasi nyatanya mereka sendiri mencoreng slogan tersebut, umat Islam hanya akan dijaga tanah dan nyawanya dalam kepemimpinan Islam. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Anfal ayat 60 yang artinya, "Dan persiapkanlah olehmu segala macam kekuatan apa saja yang kamu miliki dan kuda-kuda yang ditambatkan untuk menggetarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuhmu".
Pada masa Khulafaur Rasyidin, Angkatan Laut berhasil menahan serangan Byzantium atas Iskandaryah pada 25 H. Dalam perang Dzatu Shawari pada 34 H di bawah pemerintahan Daulah Umayyah berhasil melakukan blockade atas Konstantinopel pada 54-60 H dan 98-99 H pasukan Muawiyyah berhasil melakukan lompatan besar untuk mempertahankan teritorial blokade yang ditujukan untuk menghalau musuh.
Kita semua butuh seorang khalifah yang menjalankan segala urusan untuk kemaslahatan umat juga mampu menjalankan syariat Islam. Penerapan sistem Islam kaffah yang akan mendorong warga negaranya untuk menjaga wilayah teritorial perbatasan kedaulatan dengan mengingatkan keutamaan dan pahala besar yang diterima mereka dari Allah SWT. Inilah kekuatan yang dimiliki khilafah sebagai negara adidaya akan memberdayakan seluruh potensi yang ada demi melindungi negara dan warga negaranya []wallahualam bissawab.
Penulis: Hasni Surahman_Milenials Activis
Editor :Esti Maulenni