Dibalik Kolaborasi Syair Indah

foto ilustrasi. net
Tati Ristianti_Komunitas Ibu Peduli Generasi dan Member AMK
//Ramadhan tiba
Ramadhan tiba
Ramadhan tiba
Marhaban Ya Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan
Ramadhan tiba semua bahagia tua dan muda bersukacita.
Bulan ampunan bulan yang berkah...//
Lagu “Ramadhan Tiba” ini kerap disetel atau dinyanyikan ketika mendekati bulan Ramadan, serta mengajak masyarakat berlomba-lomba dalam beribadah dan beramal. Namun seiring dengan lirik lagu, fenomena ini seolah-olah tak mau ketinggalan menjadi tradisi permanen yaitu kenaikan harga komoditas ikut disetel, bahkan lebih nyaring bunyinya. Inilah kolaborasi syair indah dengan kenaikan komoditas pangan menjelang Ramadan atau hari besar agama lainya.
Sebagaimana dikutip dalam sebuah berita bahwa, harga sejumlah komoditas bahan pangan pokok naik seperti cabai, minyak goreng, gula pasir kualitas premium, dan daging ayam ras segar. Kenaikan tersebut terjadi 20 hari jelang bulan puasa atau Ramadan. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, rata-rata harga cabai merah besar secara nasional mencapai Rp 42.200 per kilogram, pada Jumat (3/2). Angka tersebut naik dibandingkan pada bulan lalu yang mencapai Rp 36.250 per kg. Sementara rata-rata harga cabai rawit hijau juga naik yang mencapai Rp 48.700 per kilogram. Angka tersebut naik dibandingkan posisi pada awal Februari yang hanya mencapai Rp 42.600 per kilogram. Katadata.co.id.com 3/3/2023.
Maka wajar, dampak dari kenaikan harga komoditas pangan ini membuat masyarakat resah dan berkeluh kesah. Berputus asa, serta mengambil jalan pintas, demi untuk bertahan hidup, mereka dengan sukarela menggunakan cara diluar fitrahnya sebagai manusia. Seperti, menjadi bagian dari human traffiking, penjual narkoba, dan miras, membuat konten yang kebablasan semua itu dianggap akan mendatangkan cuan yang cepat dan instan. Lebih dari itu, banyak juga yang terjebak pinjol. Dengan pinjaman yang mudah didapatkan, namun sejatinya lebih menyengsarakan.
Sistem kapitalisme, yang sejatinya harus kita salahkan dan tinggalkan. Karena sangat mustahil kita berharap kepada sistem saat ini, yang jelas-jelas tidak bisa menjaga kestabilan kebutuhan hidup hajat manusia baik sandang, papan, dan pangan. Semua bagaikan jauh panggang dari api. Fenomena kenaikan kebutuhan pokok ini adalah salah satu bukti yang bisa kita rasakan.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, syariat Islam yang sehat akan menghilangkan distorsi mekanisme pasar seperti penimbunan, intervensi harga. Karena Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik.
Abu Umamah Al Bahilli berkata,“Rasulullah Saw.melarang penimbunan makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi) Jika pedagang, importir, atau siapa pun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan Khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.
Islam juga akan menjaga keseimbangan supply dan demand. Jika terjadi ketidakseimbangan, negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkan dengan mendatangkan barang baik dari daerah lain.
Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khaththab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Abu Musa ra. di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Mereka hampir binasa.”
Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash ra. di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru ra. dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Makkah. (Lihat: At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).
Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah SWT berfirman. “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba." (TQS Al-Baqarah: 275).
Ayat ini umum, menyangkut perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara).
Demikianlah sekilas bagaimana syariat Islam mengatasi masalah pangan. Masih banyak hukum-hukum syariat lainnya, yang bila diterapkan secara kaffah niscaya kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. sehingga dibalik syair yang indah itu, ada kehidupan yang lebih indah dan nyaman.
Wallahu'alam bishshawwab
Editor :Esti Maulenni