Posisi Umat Dalam Arus Politik 2024

SIGAPNEWS.CO.ID - Suhu politik menjelang Pemilu 2024 mulai memanas. Partai politik dan elite politik mulai melakukan kontestasi, persaingan dan manuver untuk menaikkan citra agar bisa meraup suara masyarakat. Berbagai isu politik, seperti isu korupsi, isu politik uang, dan berbagai isu lainnya termasuk isu SARA dengan kontra propaganda senantiasa terus dihembuskan untuk menjegal lawan politik. Bahkan elit politik tanpa malu melontarkan umpatan, hujatan dan narasi adu domba.
Sejumlah nama mulai dimunculkan menjelang pemilu 2024, begitu pula berbagai parpol telah mendeklarasikan calonnya. Bahkan berbagai survei telah dilakukan untuk menunjukkan elektabilitas calon yang telah diusulkan. Namun tingkat elektabilitas yang tinggi tidak menjamin para calon tersebut akan mendapatkan tiket bursa pemilihan presiden 2024. Karena untuk mendapat tiket pilpres tersebut partai pengusung harus memenuhi ambang batas pencapresan atau presidential threshold 20% (parpol pengusung harus memenuhi 20% kursi di DPR) atau 25% suara sah pemilu. Sehingga, jika parpol pengusung tidak memenuhi ambang atas yang dipersyarakatkan, maka harus dilakukan koalisi partai untuk mendapatkan tiket tersebut.
Tingkat elektabilitas yang tinggi tanpa dukungan partai politik akan mustahil dapat maju ke bursa pilpres. Sebaliknya, apabila calon yang diusung oleh parpol memiliki elektabilitas yang rendah, yang menujukkan bahwa terdapat dua kutub yang berlawanan antara masyarakat dengan partai politik. Padahal seharusnya suara parpol harus mencerminkan suara masyarakat. Namun sistem demokrasi meniscayakan keadaan tersebut, sehingga suara rakyat dijadikan komoditas untuk diperjualbelikan dalam bursa capres tak terkecuali suara umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas.
Umat Islam dalam Pusaran Demokrasi
Sudah 12 kali pemilu dilewati oleh rakyat Indonesia, akan tetapi belum pernah umat Islam mendapatkan posisi politik yang diharapkan mampu untuk menyalurkan aspirasinya sebagai entitas terbesar di Indonesia. Namun yang terjadi, umat Islam hanya digunakan sebagai stempel politik dan suaranya senantiasa diperebutkan oleh partai politik. Kondisi seperti ini adalah sebuah kewajaran di alam demokrasi kapitalisme, dimana rakyat hanyalah barang dagangan dalam politik transaksional untuk melanggengkan kekuasaan para kaum oligarki. Walaupun secara teori dan konsep dalam demokrasi rakyat adalah pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi, yaitu rakyat memiliki daulat penuh untuk memilih pemimpin dan aturan, tetapi konsep tersebut sangat lemah. Hal ini karena dalam mekanisme pemilihan wakil rakyat dan pemimpin dilakukan dengan biaya yang mahal untuk pencitraan dan iklan sehingga kekuatan modal bermain dalam proses ini. Wajar jika momen pemilu yang merupakan ajang pesta demokrasi merupakan ajang persaingan pihak yang berkepentingan, yaitu para pemilik modal.
Begitu pun kedudukan umat Islam saat ini jika masih mengharapkan perubahan melalui jalan demokrasi, maka niscaya akan menemui jalan kegagalan yang berulang. Seperti yang terjadi pada pemilu tahun 2019 dimana suara mayoritas umat Islam ditujukan kepada pihak lawan penguasa yang terjadi adalah korban perasaan dan nyawa, sedangkan pada akhirnya para elit politik saling berangkulan dan saling berbagi kue kekuasaan.
Oleh karena itu umat harus mengambil pelajaran tersebut agar tidak terus menjadi korban dalam pusaran demokrasi dengan iming-iming perubahan hidup dan kesejahteraan yang tidak akan mungkin pernah terwujud melalui sistem demokrasi kapitalisme, yang sejatinya meniadakan peran Tuhan. Allah Swt. telah menjanjikan keberkahan hidup dan kebahagiaan hakiki hanya jika menyempurnakan ketakwaan, yaitu dengan menjalankan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 56:
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.
Lalu, bagaimanakah umat Islam agar bisa keluar dari arus demokrasi?
Perubahan Hanya dengan Jalan Mulia
Hal penting yang harus senatiasa ditekankan kepada umat adalah jiwa optimisme bahwa Islamlah yang nantinya bakal menang atas kezaliman. Di antaranya, memahamkan umat tentang ketauhidan atau akidah, karena kemenangan merupakan bagian dari pertolongan Allah Swt. Sehingga dibutuhkan usaha yang sungguh-sungguh bagi para pengemban dakwah untuk senantiasa memahamkan umat bahwa perubahan hakiki hanya dengan jalan Islam. Lalu menanamkan keyakinan bahwa perjuangan menegakkan kembali Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan termasuk satu jalan kemuliaan dan bagi para pejuangnya akan mendapatkan satu dari dua kebaikan sebagaimana yang disebutkan dalam surat QS at-Taubah: 52. Selain itu, harus senantiasa tertib, disiplin, istikamah, sabar, demi keberhasilan membangun optimisme ini di tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bishawab…..
Editor :Esti Maulenni