Banyak Potensi Bencana Namun Lemah Mitigasi

Cuaca ekstrem dengan intensitas hujan tinggi selama beberapa hari ini mengakibatkan banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah.
Bahkan, terjangan keras material lahar dingin Semeru juga mengakibatkan beberapa jembatan mengalami kerusakan hingga terputus total.
Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terendam banjir imbas luapan air Sungai Kokat.
Rumah warga terendam sejak Kamis lalu (6/7) setelah hujan lebat terjadi dari sore hingga malam.
Begitu juga banjir dan longsor di beberapa titik di wilayah selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Jalur selatan Malang-Lumajang putus akibat longsor yang kemudian disusul putusnya jembatan di perbatasan kedua daerah itu.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang menyebutkan, banjir, antara lain, melanda Desa Sitiarjo dan Sidoasri di Kecamatan Sumbermanjing Wetan serta Desa Pujiharjo di Kecamatan Tirtoyudho. Sementara longsor terdapat di Desa Lebakharjo, Kecamatan Ampelgading.
Setiap tahun, bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa akibat pergeseran lempeng, tanah longsor, banjir, angin puting beliung, hingga tsunami, menghampiri negeri ini.
Tentunya perlu upaya antisipasi agar tidak banyak timbul korban serta meminimalkan dampak kerugian. Meskipun bencana termasuk ketetapan Allah yang tidak dapat dipastikan kedatangannya, setidaknya manusia dapat memperkirakan dan memiliki alarm pertama menghadapi bencana alam.
Oleh karenanya, keberadaan mitigasi bencana sangat penting sebagai alat ukur awal membaca kebencanaan. Mitigasi bencana sendiri merupakan segala upaya untuk mengurangi risiko bencana.
Terutama dalam aspek pemanfaatan teknologi. Sistem informasi mengenai peringatan dini bencana harus mudah diakses rakyat, sehingga rakyat menjadi waspada. Setidaknya, dengan peringatan dini mengenai cuaca atau rekaman seismik pergerakan bumi, misalnya, risiko bencana dapat diantisipasi.
Dukungan Dana dan Tenaga
Upaya mitigasi bencana berbasis teknologi tak bisa dilakukan tanpa dukungan penguasa. Butuh sistem yang mendukung pengembangannya. Ketersediaan dana dan tenaga menjadi modal pokoknya.
Sebagai contoh, setelah tsunami di Aceh beberapa tahun silam, para ilmuwan bekerja sama membuat alat stimulus pembaca pergerakan gelombang laut. Dengan demikian, kemungkinan tsunami dapat diperkirakan sejak dini. Kemajuan ilmu pengetahuan alam mengenai ilmu kebumian (geografi, geologi, dll.) juga perlu ditingkatkan. Tentu semua ini butuh dukungan sistem.
Batu Sandungan yang Terjal
Sayangnya, dukungan ini belum maksimal. Banyak kendala yang dihadapi para peneliti, baik dari sisi dana, sumber daya manusia, maupun peralatan. Sebagaimana kita ketahui, dana menjadi benturan awal dalam pengembangan sistem mitigasi bencana.
Utang negara saat ini bagaikan kurva eksponensial, peningkatannya melesat tajam. Jika dana yang dibutuhkan cukup banyak, jalan satu-satunya bagi negara adalah dengan menambah utang. Bisa dibayangkan jika hal ini terjadi, utang Indonesia akan sebesar apa? Jangan-jangan butuh ratusan tahun untuk membayar utang dan bunganya. Bukannya uang, malah utang yang diwariskan ke anak cucu kita.
Kemungkinan kedua, mitigasi bencana dapat dikembangkan tanpa banyak keluar biaya. Syaratnya, melakukan kerja sama dengan peneliti asing. Tenaga dari kita, dana dari mereka. Namun, siapa yang akan diuntungkan? “No free lunch” dalam sistem saat ini. Siapa yang mau memberi makan siang gratis?
Segala penelitian yang dilakukan secara kerja sama harus dilaporkan ke lembaga yang menjadi sponsor. Jika mereka adalah pihak asing, apa jaminan penelitian kita akan aman?
Lalu, bagaimana dengan SDM? Sebenarnya, kita tidak kekurangan untuk yang satu ini. Universitas berbasis teknologi seperti ITB dan ITS cukup baik untuk digandeng melakukan penelitian. Selain masuk pada pengabdian masyarakat bagi kampus, juga sebagai pengembangan ilmu pengetahuan untuk kemajuan pendidikan. Seandainya ada dukungan penuh dari segala sisi, dua universitas ternama ini akan mampu mengembangkan teknologi, dalam hal ini teknologi mitigasi bencana.
Namun di sisi lain, kalaupun penelitian berjalan, pengembangan peralatan mitigasi ini terbentur dengan kebijakan. Kebutuhan akan biaya yang besar, ikatan perjanjian dengan negara pemberi utang, atau adanya SDM pejabat yang suka KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), menjadi kendala dalam merealisasikan hasil penelitian. Walhasil, penelitian hanya mangkrak di meja atau rak universitas.
Mitigasi Bencana, Riayah Berdimensi Akhirat
Mitigasi sendiri diartikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik lewat pembangunan fisik ataupun penyadaran, serta peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana (PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).
Dalam Islam, mitigasi menjadi tanggung jawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinan, yakni sebagai pengurus (rain) dan penjaga (junnah) umat yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. Sedangkan aktivitas menolong yang bisa dan biasa masyarakat lakukan secara swadaya merupakan kebaikan yang agama anjurkan.
Oleh karenanya, penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana, sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana. Di antaranya dengan cara menerapkan aturan dan kebijakan yang tidak merusak lingkungan atau yang bisa mengundang azab Allah, seperti zina dan riba.
Di tempat-tempat yang rawan bencana, harus ada kebijakan yang lebih khusus. Tidak hanya menyangkut kesiapan mitigasi risiko, tetapi juga manajemen kebencanaan (disaster management) yang lebih sistemis dan terpadu, seperti sistem peringatan dini, sistem logistik kedaruratan, serta sistem kesehatan yang menjadi bagian integral dari sistem penanganan terpadu kebencanaan; termasuk di dalamnya, pemerintah harus menerapkan kebijakan tata ruang, tata wilayah, dan pembangunan infrastruktur yang berbasis kelestarian dan ketahanan lingkungan.
Juga tidak kalah penting adalah kesiapan penguasa menerapkan kebijakan pendidikan berbasis akidah sehingga terwujud masyarakat taat syariat. Masyarakat seperti ini akan siap menjaga alam semesta sesuai kehendak Sang Pencipta, sekaligus memiliki pemahaman soal kebencanaan.
Hanya saja, untuk bisa mewujudkan semua hal itu tentu butuh sistem keuangan yang kuat. Jangan sampai persoalan dana terus-menerus menjadi penghambat ataupun bahkan menjadi alasan bagi aktor negara asing maupun lembaga nonnegara untuk membangun pengaruh politik melalui tawaran utang dan bantuan—sebagaimana yang terjadi sekarang.
Kondisi ideal seperti ini memang akan sulit terwujud dalam sistem sekarang. Paradigma kapitalistik sekuler neoliberal telah menjadikan kepemimpinan tegak di atas kepentingan pemilik modal, bukan tuntunan agama (Islam).
Alih-alih maksimal menjauhkan dan atau menolong rakyat dari kebinasaan, kekuasaan oligarki yang tegak hari ini justru menjadi salah satu penyebab bencana terjadi berkepanjangan. Kalaupun ada yang dilakukan bagi rakyatnya, pasti tidak lepas dari rumus hitung-hitungan uang.
Khatimah
Hanya sistem kepemimpinan Islam yang bisa kita harapkan mampu menyelesaikan problem kebencanaan dengan solusi yang mendasar dan tuntas. Mulai dari fondasi negara dan kepemimpinan yang lurus, yakni berlandaskan tauhid, kemudian topangan oleh penerapan syariat Islam kafah.
Inilah yang akan menjadi pintu pembuka bagi datangnya rida Allah Swt. sekaligus kebaikan hidup yang dirasakan oleh semua. Sebagaimana Allah Swt. berfirman,
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96)
Dengan demikian, sudah saatnya umat bersegera mewujudkan kepemimpinan Islam. Hal ini tentu mulai dari aktivitas dakwah pemikiran yang bertarget memahamkan umat secara benar dan komprehensif tentang akidah dan hukum-hukum Islam.
Harapannya, akan tergambar pada diri umat bahwa Islam adalah solusi seluruh problem kehidupan sekaligus jalan keselamatan. Solusi yang tidak hanya menyelamatkan mereka dari bencana di dunia, tetapi juga bencana yang lebih berat di akhirat.
Editor :Esti Maulenni