Rakyat Indonesia Tak Putus Dirundung Malang

Foto ilustrasi tegangan listrik.
Analis Mutiara Umat Institute
"Sudah jatuh tertimpa tangga pula." Peribahasa ini mungkin menjadi ungkapan yang pas untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Sudahlah BBM naik, Tersiar wacana akan dicabut tarif dasar listrik 450 VA.
Padahal, listrik golongan 450 VA ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat terutama masyarakat di perdesaan. Belumlah sampai satu bulan kebijakan dicabutnya subsidi BBM sudah muncul lagi wacana kebijakan baru dicabutnya listrik 450 VA, jelas ini akan menambah besar dampak ekonomi dan memicu inflasi yang lebih parah.
Menanggapi peralihan daya listrik ini, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan bahwa kebijakan pemerintah ini jangan sampai memaksa masyarakat untuk beralih ke fasilitas yang sebenarnya belum dibutuhkan.
Kemudian Tauhid melanjutkan, sebenarnya tidak ada urgensi untuk mengganti daya listrik rumah tangga saat ini, karena konsumsi listik masyarakat di desa misalnya tidak akan teralu tinggi. Maka, jika program ini dipaksakan akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat karena warga jadi membayar tagihan yang lebih besar dari biasanya padahal itu tidak dibutuhkan.
Peralihan daya ini malah menimbulkan kecurigaan bagi Taufik karena hal ini ditenggarai sebagai jembatan untuk mempermudah proyek pemasangan kompor induksi yang sebelumnya digagas Menteri BUMN, Erick Thohir terkait pengadaan 1 juta kompor induksi gratis yang akan dibagikan ke masyarakat dengan total anggaran mencapai Rp5 triliun (Tirto.Id, 14/09/22)
Adalah hal yang wajar jika program peralihan daya listrik ini dikaitkan dengan proyek kompor induksi, karana tentu saja kalau masyarakat masih menggunakan 450 VA maka tidak akan kuat oleh karena itu dibuatlah program peralihan daya ke 900 VA.
Seakan memperkuat kecurigaan dari Taufik, Vice President Komunikasi Korporat PLN, Gregorius Adi Trianto menyampaikan bahwa PLN juga sedang menyiapkan pilot project migrasi kompor induksi bagi Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan daya 450 dan 900 subsidi yang terdaftar sebagai rumah tangga yang tidak mampu berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). (Tirto,15/9/22).
Lebih lanjut dia menjelaskan nantinya daya listrik setiap rumah KPM akan dinaikkan terlebih dahulu secara gratis. Kemudian daya 450 VA dinaikkan menjadi 2200 VA. Lalu daya listrik 900 VA dinaikkan menjadi 3500 VA.
Lalu, menurutnya pelanggan yang Pelanggan program kompor Induksi bagi KPM tersebut akan di update di database billing system sehingga status pelanggan tetap pelanggan subsidi dan berhak atas subsidi listrik yang berlaku.
Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah kompor induksi itu benar-benar akan di subsidi dan tidak mengalami kenaikan dalam pembayaran listrik di kemudian hari? Ini merupakan kekhawatiran dari sebagian besar masyarakat.
Belumlah terurai efek domino dari kenaikan BBM sudah ditambah lagi kenaikan tarif dasar listrik. Kalaulah progam pengalihan daya ini tidak berimbas pada kenaikan pembayaran tarif listrik itu tidak akan menjadi beban baru, tapi apalah gunanya memiliki kompor yang modern jika dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja masyarakat sulit untuk menjangkaunya akibat dari kenaikan BBM.
Di sisi lain, menurut pemerintah dan Ketua Banggar DPR, Said Abdullah bahwa kebijakan pengalihan penggunaan listrik 450 itu ditujukan untuk menyerap listrik milik PT PLN (Persero) yang saat ini sedang mengalami over suplai.
PLN tengah mengalami over suplai listrik sebanyak 6 Giga Watt (GW) saat ini. Tak cukup sampai di situ, tahun depan akan ada pembangkit listrik baru yang akan beroperasi dan mengakibatkan adanya tambahan over suplai sebesar 1,4 GW menjadi 7,4 GW.
Menurut Said, penggunaan listrik masyarakat dengan daya 450 VA sudah tidak jaman lagi. Kelak, dalam peningkatan daya 450 VA ke 900 VA itu dan ke 1.200 VA, PLN hanya perlu mengotak-atik perubahan meteran saja, sehingga tidak perlu biaya (kompas.com, 14/09/22).
Simpang siur terkait wacana pengalihan daya listrik ini jelas membuat masyarakat berada dalam ketidaknyamanan karena listrik sebagaimana Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebutuhan pokok.
Bisa dibayangkan jika keduanya naik secara bersamaan sedangkan penghasilan masyarakat tidak mengalami peningkatan, yang pasti akan terjadi adalah kehancuran ekonomi masyarakat.
Akan banyak rakyat yang menderita dan mati kelaparan karena kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok padahal sejatinya itu adalah kewajiban negara dalam memenuhinya.
Sudah sekian kali kita menyaksikan bagaimana ketika sistem yang diterapkan di negeri mayoritas muslim ini bukan berasal dari pencipta alam semesta, semua diperjualbelikan seenaknya manusia.
Itulah sistem kapitalisme yang menjadikan fungsi penguasa bukan sebagai pelayan umat tapi hanya sebagai simbol saja sedangkan yang bermain di dalamnya hanya para kapital alias para pemilik modal maka wajar jika segala sesuatu di hitung dengan untung dan rugi.
Berbanding terbalik dengan Islam yang menjadikan penguasa sebagai pelayan dan pemelihara urusan umat. Maka, kesejahteraan umat menjadi prioritas utama.
Adalah benar adanya sabda Nabi Muhammad Saw :
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Api dalam hal ini listrik masuk ke dalam tiga kategori tersebut. Maka, listrik merupakan milik umat dan tidak boleh dimiliki oleh individu maupun negara. Hak Negara hanya mengelola bukan memiliki dan wajib mengembalikan lagi kepada umat sebagai bentuk pelayanan.
Dengan aturan yang begitu jelas, tidakkah kita merindukan tegaknya syariat Islam yang akan melayani dan memelihara urusan manusia dengan adil dan sesuai dengan fitrah manusia.
Editor :Esti Maulenni