Ngotot Berkendara Demokrasi, Ilusi Perubahan Hakiki

Gambar ilustrasi.
Rut Sri_Institut Literasi dan Peradaban
Musisi Iwan Fals mengomentari suasana politik Indonesia yang mulai ramai dengan pembahasan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2024. “Penetapan capres cawapres 2024 memangnya kapan, kok sudah pada ramai,” tulis Iwan di Twitter dengan emoji nerd face (CNN Indonesia,3/9/2022).
Memang inilah fakta negeri Indonesia, di saat rakyatnya sibuk membenahi keuangan yang amburadul akibat pendemi Covid-19 dan mahalnya semua harga barang kebutuhan pokok, penguasanya sibuk mempersiapkan pesta rakyat. Bukan untuk menjamu rakyat kemudian memberinya oleh-oleh seusai pesta. Namun untuk menjaring suara rakyat dan memberinya tambahan hidup untuk lima tahun ke depan.
Cuitan salah satu penyanyi legendaris Indonesia itu tak salah, mungkin sekarang ia sudah bisa lebih obyektif setelah sempat ikut menjadi tim sukses salah satu paslon dan mendapati dirinya dalam jebakan tipu daya. Sebagaimana dilansir CNN Indonesia, 26 September 2022 pemerintah kembali mengumandangkan isi Undang-undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pasal 280 ayat (2) dan (3).
Dimana pasal di atas tertuang penjelasan , beberapa pejabat pemerintah dilarang bergabung sebagai tim kampanye di Pemilu 2024 diantaranya ketua, wakil dan hakim agung pada MA, seluruh hakim badan peradilan, anggota BPK, hingga gubernur dan deputi Bank Indonesia (BI).
Lalu, aparatur sipil negara, TNI dan Polri, kepala dan perangkat desa serta anggota Badan Permusyawaratan Desa(BPD). “Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim Kampanye Pemilu,” bunyi Pasal 280 ayat (3). Jika ada pelanggaran maka sanksi pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp24 juta khusus bagi petinggi MK, MA, hakim, anggota BPK, petinggi BI serta komisaris, direksi dan karyawan BUMN dan BUMD.
UU Pemilu juga mengatur larangan tim kampanye kandidat menerima sumbangan dana kampanye dari pihak BUMN dan BUMD. Bila terbukti menerima dana demikian, maka tim sukses bakal kena sanksi dan wajib menyerahkan dana itu ke kas negara. Paling lambat 14 hari setelah masa Kampanye Pemilu berakhir ( pasal 339 ayat 2).
Satu lagi yang diatur dalam undang-undang pemilu ini, yaitu bagi warga yang menghalangi kampanye di masa Pemilu 2024 bisa dikenai hukuman penjara dan denda maksimal 12 juta Rupiah (Pasal 491).
Tidak dijelaskan lebih lanjut bentuk yang bagaimana yang dianggap sebagai menghalangi kampanye. Seperti biasa, makna sebuah aturan bersifat ambigu dan pasal karet. Berjalan sesuai kepentingan di lapangan. Masa kampanye Pilpres 2024 akan dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Dan hari pemungutan suara jatuh pada 14 Februari 2024.
Sedemikian tangkas pemerintah dalam mempersiapkan agenda lima tahunan ini, seolah inilah puncak pencapaian tertinggi demokrasi, sistem yang diterapkan sebagai pengatur urusan politik di negeri ini. Yang menjadi pertanyaan, alasan apa di balik pasal pemilu (280 ayat 2 dan 3) yang melarang beberapa pejabat pemerintahan untuk bergabung sebagai tim kampanye di Pemilu 2024?
Sedemikian urgenkan pelarangan ini sehingga harus diundang-undangkan? Namun jika melihat jejak digital pemilu di tahun 2014, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pernah membantah beredarnya kabar kalau dirinya menjadi tim sukses Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) sebagai calon presiden (capres) 2014. “Saya hakim konstitusi, dilarang berpolitik praktis. Kalau berdiskusi dengan Ical, sering saya lakukan bahkan saya pernah berceramah di DPP Golkar,” kata Mahfud, di Jakarta Jumat (Republika.co.id20/1/2012).
Inilah fakta lobi-lobi antar pejabat, pemimpin partai, pengusa dan siapapun yang konsen terlibat dalam kontestasi pemilu. Banyak pihak yang menaruh harapan dari hasil pemungutan suara di pemilu, siapa pemenang dan siapa yang kalah bak kartu Turf yang bakal menentukan masa depan mereka. Terlebih dalam politik ala demokrasi sejatinya tak ada kawan atau lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan.
Syeh Taqiyuudin An Nabhani dalam kitab Nizam Islam menjelaskan ada lima macam ikatan dalam masyarakat, ikatan nasionalisme, ikatan kesukuan, ikatan kemaslahatan, ikatan kerohanian yang tidak memiliki aturan dan ikatan akidah. Hanya ikatan kelima, yaitu akidah yang mampu mengikat manusia untuk meraih kebangkitan dan kemajuan. Sayangnya, empat ikatan yang tak layak itulah yang kini sedang diterapkan banyak bangsa di dunia ini.
Demokrasi menjadi salah satu sistem politik yang paling banyak diemban di dunia ini, sebab ia mendewakan suara manusia untuk mengatur kehidupan sekaligus menyelesaikan semua persoalannya. Tak ada ranah Tuhan di dalamnya yang dianggap malah menjadi beban dan mengungkung hak berekspresi. Bagaimana manusia bisa berkembang jika seluruh potensi dan kreatifitasnya dihambat oleh halal dan haram?
Pun hari ini, bisa jadi munculnya undang-undang pemilu ini karena melihat fenomena pelaku politik begitu menghalalkan berbagai cara. Agar tujuannya tercapai. Berbagai orang berharap dengan berbagai latar belakang profesi dan keilmuannya bisa memberi pengaruh pada keputusan langkah selanjutnya dalam proses pemilu. Jadi, bisa jadi pula, undang-undang pemilu ini tidak efektif sesuai tujuan. Sebab, meski bukan tim sukses, mereka tetap bisa menyuarakan kehendaknya. Termasuk terkait aliran dana kampanye yang bisa dengan mulus didistribusikan.
Berbagai pihak yang dilarang untuk menjadi tim sukses sekaligus pelarangan BUMN dan BUMD menjadi mesin ATM bagi pembiayaan kampanye sejatinya tak bisa begitu saja ditindak, faktanya selama demokrasi dengan pemilunya berjalan, selalu ada saja kasus pelanggaran. Sebab kita berbicara politik kepentingan yang kental di dalam perpolitikan negeri ini. Selalu ada celah yang masih bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Tidak mungkin bersih sebagaimana yang rakyat harapkan, demokrasi itu mahal.
Panjangnya proses pemilu dari sejak pencalonan, kampanye hingga pelaksanaan pemungutan suara melibatkan banyak pihak dan birokrasi inilah yang menjadi sebab mahalnya biaya pemilu. Bisa dipastikan, UU pemilu ini hanya akan menjadi wacana kosong meskipun sanksinya mahal. Larangan bergabung sebagai timses pemilu 2024 mendatang akan terus berpotensi sebagai upaya memecah-belah kekuatan yang berhadapan langsung dengan rezim berkuasa. Sebab watak asli demokrasi adalah dalam hal apapun selalu menerapkan standar ganda. Sesuai kepentingan.
Anehnya, masyarakat kita tak belajar dari kenyataan yang disuguhkan dari hasil pemilu. Tak ada perubahan, kampanye hanya berakhir setelah suara diambil di bilik-bilik pemungutan suara. Siapapun pemimpin yang diusung, tak terkecuali mantan gubernur DKI yang digadang bakal lebih baik, fix akan sama. Bukan pesimis. Setiap peristiwa pemilu di Indonesia yang kerap kali mengundang ironi bahkan tragedi bahkan pasca pemilu harusnya bisa membuka mata dan kesadaran. Ini bukan perkara pemilunya itu sendiri.
Sebab, pemilu hanyalah salah satu cara memilih pemimpin yang dalam Islam dihukumi mubah. Namun, lebih kepada essensi demokrasi itu sendiri yang meminjam pemilu sebagai sarana mengembannya. Dengan selalu difokuskan pada pilihlah pemimpinmu, untuk perubahan yang lebih baik. Atau, manfaatkan hak demokratismu, untuk masa depan lebih baik dan lain-lain.
Sejatinya, mekanisme pemilihan dan pengangkatan kepala negara dalam Islam tidak serumit dan sepanjang sebagaimana dalam sistem hari ini. Calon kepala negara adalah orang yang sudah dikenal rakyat, bukan orang yang berusaha dikenalkan melalui serangkaian kampanye, safari politik, kontestasi dan lain sebagainya. Namun yang pasti dia harus memiliki tujuh syarat iniqod yaitu pria, Islam merdeka, baligh, adil, berakal dan mampu mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin.
Tidak persoalan dari partai, kelompok mana atau tokoh masyarakat di satu wilayah. Kemudian, calon pemimpin itu dipilih, teknik pemilihan disepakati dengan cara tertentu. Selama proses pencalonan, tidak boleh terlalu lama dan tidak ada suap menyuap. Pemilihan hanya berlaku untuk kepala negara, sedangkan setingkat pejabat di bawahnya, misal gubernur, wali, bupati akan dipilih oleh kepala negara terpilih. Hal ini akan memangkas biaya menjadi jauh lebih hemat dari hari ini.
Satu lagi yang terpenting, setiap kepala negara terpilih, sudah pasti hanya menerapkan syariat Islam sebaga job diskripsinya, bukan yang lain. Oleh karena itu, selesai pengangkatan tidak ada jeda melainkan harus segera melaksanakan tugas agar syariat bisa terus berjalan, demikian pula dengan penghisaban.
Inilah yang sangat krusial, demokrasi memilih pemimpin untuk menerapkan hukum manusia, sedang pemimpin dalam Islam adalah menerapkan syariat Islam. Inilah ikatan akidah, yang paling layak mengikat seluruh umat manusia untuk mewujudkan dunia lebih baik dan berkeadilan. Wallahu a’ lam bish showab.
Editor :Esti Maulenni