Banjir Air Mata Di Kanjuruhan, Salah Siapa?

foto ilustrasi. net.
Bukan air mata biasa, karena air mata yang terjatuh akibat tragedi Kanjuruhan ini mungkin adalah air mata penyesalan yang sangat mendalam. Baik korban, keluarga korban, dan seluruh rakyat di negeri ini tidak pernah menyangka dan berharap euforia akan pertandingan olahraga sepak bola antar liga daerah ini, bisa menelan korban hingga 127 orang meninggal dunia dan 180 orang masih dalam perawatan.
Nyawa-nyawa yang berguguran itu mungkin adalah generasi dan sosok yang diharapkan keluarga dan bangsa untuk masa depan yang lebih baik, tetapi kini telah melayang tanpa arti. Bukan hanya air mata kesedihan dan penyesalan yang hadir di Stadion Kanjuruhan kala itu, tetapi ada juga gas air mata yang disemprotkan aparat kepada suporter FC yang diduga anarkis masuk ke lapangan sepak bola.
Alasan dari dari pihak kepolisian menggunakan gas air mata, menurut pihak kepolisian suportor FC Arema mulai anarkis dengan turun ke lapangan karena selama 23 tahun terakhir baru kali ini FC Arema kalah di stadion, kemudian karena khawatir suporter semakin anarkis, aparat menembakkan gas air mata ke arah suporter, termasuk ke arah stadion, karena kepanikan suporter ditembaki gas air mata, mereka berlarian ke arah satu titik yaitu ke satu-satunya pintu keluar dari stadion tersebut, akibatnya para suporter mengalami bottleneck dan sebagian meninggal di tempat karena lemas kekurangan oksigen dan sesak akibat penetrasi dengan gas air mata.
Pihak kepolisian pun membenarkan hal tersebut, seperti penuturan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta. “Karena gas air mata itu, mereka pergi ke luar ke satu titik, di pintu keluar. Kemudian terjadi penumpukan dan dalam proses penumpukan itu terjadi sesak napas, kekurangan oksigen," (cnnindonesia.com, 2 Oktober 2022)
Selain alasan yang dikemukakan, pihak kepolisian juga mengungkap alasan yang serupa dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menyebut gas air mata di Stadion Kanjuruhan, Malang, dilepaskan karena penonton mengejar pemain sepak bola.
Namun, dari penuturan para saksi yang menjadi bagian penonton saat itu mereka diperlakukan tidak manusiawi oleh aparat seperti kesaksian korban yang selamat di antaranya: Muhammad Riandi Cahyono (22 tahun) seorang aremania yang turut hadir bersama kekasihnya untuk menonton pertandingan FC Arema melawan Persebaya, Riandi mengakui bahwa dirinya ikut turun ke lapangan karena kecewa FC Arema kalah dari Persebaya, tetapi dia tidak sempat melakukan aksi apa pun karena selain mendapat tembakan gas air mata, juga mendapat perlakuan tidak manusiawi dari aparat, tulang lengannya patah sehingga dia menjadi korban luka akibat pemukulan, bukan akibat gas air mata, sedangkan kekasihnya hingga tanggal 2 Oktober belum diketahui keberadaannya.
Selain Riandi, Novandra Zulkarnain (20 tahun), dan Aldita Putri juga turut menjadi korban. Keduanya sama-sama ikut terinjak sehingga menyebabkan mereka mengalami luka ringan saat tragedi tersebut terjadi. Hal ini bisa terjadi karena mereka panik saat gas air mata ditembakkan ke arah suporter. Sebagaimana pengamatan Riandi bahwa gas air mata tidak hanya ditembakan kepada suporter yang turun ke lapangan, tetapi juga ke arah suporter di bawah papan skor, sehingga menyebabksan kepanikan para suporter di bangku stadion.(republika.co.id, 2 Oktober 2022)
Jika harus mencari siapa yang salah? Kedua belah pihak, baik korban dan aparat menangggung kesalahan yang tidak sepele. Kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan ini adalah potret buruk fanatisme golongan, yang sudah berulang terjadi, dan kali ini adalah yang paling parah akibatnya. Bahkan tragedi Kanjuruhan ini menjadi tragedi akibat pertandingan olahraga terburuk kedua di dunia.
Merespons tragedi ini, masyarakat khususnya di jagat media sosial memberi tanggapan beragam, muncul berbagai thread di aplikasi Twitter yang membahas bahwa tragedi Kanjuruhan ini akibat kelalain aparat dalam menangani kekisruhan suporter sepak bola yang disamakan dengan penanganan aksi demontrasi di jalanan.
Memang untuk aksi jalanan di tempat terbuka, efektif menggunakan gas air mata untuk membubarkan kumpulan yang anarkis. Namun, jika kerusuhan terjadi di stadion olahraga, apalagi di Kanjuruhan yang hanya memiliki satu pintu keluar, mengunakan gas air mata dapat menyebabkan berjatuhannya korban seperti yang terjadi pada tanggal 1 Oktober lalu. Seperti yan diungkapkan oleh akun Twitter item. @nifirach. “Problemnya adalah cara penanganan kekisruhan yang terjadi, mungkin disamakan dengan kerusuhan aksi demo. Ada kisruh tembak trus bubar, di tribun beda booss! Harus ada pihak keamanan yang khusus ditraine untuk pengamanan kekisruhan di stadion.”
Ada juga thread di Twitter yang ramai memperdebatkan bahwa budaya suporter sepak bola di dunia sama saja, bukan hanya di Indonesia adanya suporter yang turun ke lapangan jika tidak untuk mengungkapkan kekecewaan kadang mereka bereaksi atas euforia kegembiraan akan kemenangan tim yang mereka dukung. Namun, hanya di Indonesia yang akhirnya menelan korban ratusan orang seperti diungkap oleh akun Twitter Noiré @siixsixsiix. “Semua Pertandingan ini sama penonton masuk ke lapangan St Etienne, Frankfurt, Malmo, dan Arema, tapi cuma laga Arema yang berujung 180+ orang meninggal. See the problem?”
Bermunculannya reaksi masyarakat akan tragedi Kanjuruhan ini merupakan bentuk kekecewaan masyarakat pada penanganan aparat terhadap situasi di lapangan saat itu. Menjadi dua kombinasi yang mematikan antara fanatisme berlebihan dari pendukung tim olahraga dan penanganan aparat yangn represif terhadap suporter tersebut. Perlu diakui tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan ini bukan pertama kalinya di dunia, tragedi paling mematikan terjadi di Peru saat kualifikasi olimpiade antara Peru melawan Argentina, 24 Mei 1964, 328 orang tewas dalam peristiwa ini.
Kemudian di tahun 2001, kericuhan yang serupa dengan Kanjuruhan terjadi dalam pertandingan Liga antara dua tim sepak bola Ghana, total 127 orang tewas karena berjejal saat berusaha keluar stadion. Hal ini juga terjadi akibat penembakan gas air mata ke arah suporter.
Berulangnya kerusuhan dalam pertandingan sepak bola di dunia seolah menunjukkan pembiaran negara atas hal ini. Di sisi lain, tragedi ini menunjukkan tindakan represif aparat dalam menangani kerusuhan yang terjadi. Hal ini tampak pada penggunaan gas air mata, yang sejatinya dilarang penggunaannya dalam pertandingan sepak bola. Tragedi ini tak akan terjadi ketika fanatisme tak menjadi acuan masyarakat khususnya para suporter olahraga tim daerah/negara tertentu dan aparat bertindak tepat dalam mengatasi persoalan.
Tragedi berdarah di Kanjuruhan tidak akan terjadi dalam sebuah negara yang menerapkan sistem Islam, sebab salah tujuan penerapan syariat Islam adalah menjaga jiwa. Dalam Islam harga nyawa seorang muslim lebih berharga daripada langit dan bumi ini, sehingga diberlakukan hukum qishah bagi yang melanggar hukum jinayat atau pelanggaran hukum yang menyakiti jiwa manusia.
Jika keluarga korban pembunuhan tidak dapat memaafkan pembunuh korban, maka pelaku pembunuhan dapat dijatuhi hukuman qishah dengan dibunuh juga, hal ini dalam rangka melindungi jiwa manusia sendiri, dengan sanksi yang keras akan mencegah munculnya kejahatan yang sama. Apalagi aparat hukum yang seharusnya melindungi rakyat tidak akan dibiarkan represif menyakiti rakyat dengan penganiayaan, apalagi hingga menyebabkan kematian massal.
Secara individu syariat Islam juga melarang adanya ikatan fanatisme golongan bahkan terhadap nasionalisme sekalipun, yang diperbolehkan hanyalah ikatan ukhuwah (persaudaraan Islam) yang muncul dari akidah Islam tidak memandang status sosial, warna kulit, ras, dan keturunan. Ikatan fanatisme semacam ikatan suporter liga olaharga adalah ikatan lemah dan rendah yang mungkin merugikan manusia di dunia dan akhirat.
Dengan adanya penerapan syariat Islam secara kafah dapat mencegah tragedi yang disebabkan anarkisme suporter maupun dari sikap represif aparat. Untuk itu perlu segera diperjuangkan kembalinya penerapan Islam secara kafah.
Wallahualam bissawab.
Penulis: Leihana, Ibu Pemerhati Umat
Editor :Esti Maulenni