Pemberantasan Korupsi, Hanyalah Mimpi?

Foto ilustrasi. Sumber net.
Sangat disayangkan sekali, kasus korupsi di Indonesia kembali terungkap di lembaga peradilan. KPK kembali melakukan OTT di Jakarta dan Semarang, pada Rabu 21 September 2022 malam dan berhasil menjaring hasil 10 orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka, lima diantaranya adalah pegawai Mahkamah Agung (MA, 4 orang) dan seorang Hakim Agung, Sudrajad Dimyati.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan hakim agung yang terseret operasi tangkap tangan (OTT) KPK bisa jadi lebih dari satu orang. "Ada hakim agung yang katanya terlibat kalau enggak salah dua, itu harus diusut, dan hukumannya harus berat juga," ujar Mahfud di Malang, Jawa Timur. (Kompas, 24/09/2022)
Senada dengan penilaian Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari yang menganggap bahwa fenomena mafia peradilan ini sudah menjadi rahasia umum, operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Sudrajad Dimyati tentu menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi. Sebelumnya kasus serupa yang menjerat hakim pernah juga terjadi diantaranya kasus korupsi yang dilakukan oleh Akil Mochtar, Patrialis Akbar, Widya Nurfitri dan Syarifuddin Umar.
Dengan adanya penangkapan para aparat penegak hukum, terutama hakim agung, pastinya mempermalukan lembaga peradilan dan penangkapan mereka sekaligus menjatuhkan kepercayaan publik pada penegakan hukum, terutama dalam kasus pemberantasan korupsi. Fakta tersebut sejatinya menjadi indikasi bahwa korupsi sudah menggurita bahkan sudah menjangkiti penegak keadilan di tingkat tertinggi. Padahal pengadilan adalah tempat untuk memberi keadilan dalam berbagai perkara. Namun, jika tempat ini malah menjadi tempat darurat korupsi, lalu keadilan harus dicari kemana lagi ?
Fenomena korupsi yang menjadi kebiasaan para pejabat bukanlah masalah moral individu yang rendah, integritas kerja yang kurang ataupun sistem struktural lembaga yang minus pengawasan, tetapi ada hal yang lebih fundamental dari itu yakni penerapan sistem batil sekularisme demokrasi kapitalisme.
Sistem kehidupan ini adalah sistem batil, sehingga apa pun aturan yang keluar dari sistem ini hanya akan membawa kerusakan. Sekularisme adalah akidah batil, karena memisahkan agama dari kehidupan. Manusia yang terjangkiti sekularisme, tidak menjadikan tolok ukur agama sebagai pemutus perkara, mereka tidak mengenal halal haram, baik buruk, boleh dan tidak bolehnya sesuatu sebagaimana yang diatur oleh syariat Islam. Manusia bebas mengatur kehidupan mereka sesuai kehendaknya dan sistem politik yang mendukung eksistensi sekularisme ini adalah demokrasi.
Demokrasi menjadikan manusia berdaulat atas hukum, mereka bisa membuat, merevisi, dan menghapus aturan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Seperti mekanisme untuk meraih kekuasaan dalam sistem demokrasi suara mayoritas adalah syarat legal untuk berkuasa, maka para calon penguasa harus memiliki sokongan dana dari sponsor untuk memenangkan kontestasi pemilu. Inilah penyebab terjadinya korupsi akut dikalangan pejabat. Sementara mindset kapitalisme yang menguasai kehidupan manusia saat ini, menjadikan materi sebagai orientasi kehidupan, uang, jabatan dan prestis adalah segalanya. Maka tak ayal lembaga yang seharusnya merupakan pemberi keadilan menjadi sarang mafia peradilan.
Dengan demikian problem korupsi adalah problem sistem dan cacat bawaan sistem yang tidak mungkin diberantas tuntas, meskipun ada lembaga super anti korupsi, umat membutuhkan sistem pengganti yang sudah terbukti mampu mewujudkan pemberantasan korupsi dari akar hingga daun. Sistem ini adalah sistem Islam, penerapan sistem Islam akan membawa kebaikan untuk umat dan seluruh alam, sebab sistem kehidupan menjadi dasar berdirinya Negara.
Sistem Islam akidahnya adalah akidah Islam, sehingga ketika menyelesaikan sebuah perkara dengan syariat Islam. Syaikh Abdurrahman al-maliki dalam kitabnya Nizhomul Uqubat menjelaskan kasus korupsi dalam Islam disebut dengan perbuatan khianat dan tidak termasuk definisi mencuri (sariqoh), karena perbuatan tersebut termasuk penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang.
Dalam sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah, Rasullullah saw. bersabda "Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain dan penjambret" (H.R Abu Dawud). Maka sanksi (uqubat) bagi pelaku korupsi adalah hukuman ta'zir. Qodhi atau hakim akan memberi hukuman sesuai level kejahatan yang dilakukan. Sanksi ini bisa mulai dari paling ringan, seperti nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda atau ghoromah, pengumuman pelaku dihadapan publik atau di media massa, hukuman cambuk hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Ini adalah upaya kuratif dari sistem Islam yang akan menimbulkan efek jawabir yakni sebagai penebus dosa pelaku kelak diakhirat dan efek jawazir sebagai pencegah di masyarakat.
Untuk menciptakan suasana bebas korupsi, sistem Islam akan menerapkan beberapa langkah sebagai upaya preventif, yaitu pertama, sistem Islam merekrut pegawai berdasarkan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas ataupun nepotisme, untuk aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah yakni kapabilitas dan kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah). Kedua, sistem Islam melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Ketiga, sistem Islam memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya, sehingga tidak ada alasan para pegawai untuk melakukan korupsi. Keempat, sistem Islam melarang para pejabatnya menerima suap dan hadiah. Kelima, adanya teladan dari pemimpin. Keenam, adanya pengawasan oleh negara dan masyarakat. Inilah beberapa mekanisme penanganan korupsi yang ditawarkan oleh sistem Islam.
Wallahualam bissawab
Penulis: Nandiana (Pemerhati Umat)
Editor :Esti Maulenni