Buruh Tuntut Kenaikan Upah Ditengah Melambungnya Biaya dan Beban Hidup

Belum pulih imbas kenaikan harga minyak goreng yang menjulang tinggi beberapa waktu lalu, kini masyarakat dikagetkan dengan naiknya berbagai harga kebutuhan, mulai dari BBM, sembako, hingga wacana kenaikan tarif tol.
Keputusan pemerintah tersebut, sontak saja mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, terutama kaum buruh dan mahasiswa. Beragam aksi demo pun digelar di berbagai daerah, guna menyuarakan aspirasi mereka.
Pada tanggal 12 Oktober 2022 kemarin, secara serentak dari berbagai aliansi buruh akan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di 34 Provinsi. Titik aksi akan berpusat di Istana, khususnya Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, dengan mengerahkan 50 ribu orang buruh. Sedangkan 31 Provinsi lainnya, dilaksanakan di kantor gubernur daerah masing-masing.
Dalam aksi tersebut kaum buruh mengutarakan aspirasinya, dan terdapat 6 tuntutan yang disampaikan, yaitu :
1). Menolak kenaikan harga BBM.
2). Menolak UU Ciptaker (Omnibuslaw).
3). Tuntut kenaikan upah UMK/UMSK tahun 2023.
4). Menolak ancaman PHK di tengah resesi global.
5). Reforma agrarian.
6). Tuntut pengesahan RUU PRT.
Imbuh Presiden Partai Buruh Said Iqbal (Detik finance, 9/10/2022).
Keputusan pemerintah dengan menaikkan harga BBM, sangat berdampak terhadap melonjaknya berbagai harga kebutuhan ke semua lini. Kebijakan kenaikan BBM tersebut, tidak lepas dari peran para pengusaha melakukan liberalisasi dari sektor hilir, setelah berhasil meliberalisasi sektor hulu. Peraturan tersebut merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal, yang tengah bercokol dan dipraktekkan negara saat ini.
Meskipun rakyat melakukan beragam aksi untuk menyampaikan tuntutannya, tak jarang aksinya mampu mengubah kebijakan yang ada. Imbas kenaikan harga BBM tersebut, menyebabkan naiknya jasa transportasi, biaya produksi, harga kebutuhan pokok, potensi PHK, inflasi, angka kemiskinan, sehingga dapat menambah beban derita rakyat. Alih-alih untuk membantu pemulihan ekonomi masyarakat pasca pandemi, justru kado pahit yang disuguhkan. Pemerintah seakan kurang peka, terhadap urusan rakyatnya. Jikapun pemerintah mengklaim telah memberikan beragam bantuan, seperti BLT dan lainnya. Namun jumlahnya tidak sebanding, ibarat obat bius, hanya berefek sesaat, dibandingkan dengan beban yang harus dipikul masyarakat ke depannya, agar dapat hidup layak.
Ironis, di tengah berbagai harga kebutuhan hidup yang melambung, upah buruh justru terancam tidak ada kenaikan, dikarenakan masih mengadopsi aturan UU Ciptaker, yakni PP Nomor 36 tahun 2021. Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenal batas atas dan bawah, sehingga berdampak banyak kota/kabupaten, yang upah minimumnya tidak terjadi kenaikan.
Begitu realitanya, kesengsaraan hidup rakyat di bawah sistem kapitalisme. Di sistem ini menihilkan tata kelola peranan negara dalam berbenah, negara hanya berperan sebagai regulator, sehingga terjadinya carut-marut di semua aspek. Yang pada akhirnya peran para oligarki semakin leluasa dalam mengontrol penetapan harga-harga. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri, dalam menghadapi berbagai krisis, bahkan tidak adanya jaminan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Berbeda halnya dalam sistem Islam. Buruh dalam Islam disebut ijarah atau aqod. Yang bertujuan untuk mengikat antara pihak pekerja dan pengusaha, dengan asas saling menguntungkan, serta tidak boleh ada kedzoliman di antara kedua belah pihak. Pekerja diuntungkan dari upah yang diberikan pengusaha, begitupun sebaliknya majikan mendapatkan jasa dari buruh. Namun fakta saat ini masih banyak didapati tenaga kerja yang belum terpenuhi hak-haknya, dan jauh dari kata sejahtera.
Dalam Islam, manusia telah dijamin hak-haknya oleh Allah Swt. Upah dalam Islam, tidak hanya sebatas materi, tetapi mencakup batas kehidupan, yakni dimensi akhirat, serta erat kaitannya dengan konsep kemanusiaan. Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dari tenaga kerja, namun sebaliknya realita yang terjadi, justru hak-hak buruh saat ini telah terpinggirkan, bahkan muncul ketidakadilan terhadap mereka.
Hal ini sangat bertentangan dengan kacamata syara, karena syarat upah dalam Islam yaitu harus adil antara kedua belah pihak, yang bekerja dan mempekerjakan, agar tercapai kesejahteraan. Rasulullah Saw bersabda, "Berikanlah gaji kepada pekerja, sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan upahnya, terhadap apa yang dikerjakan." (HR Imam Al Baihaqi).
Bahwasannya, Islam sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan, berbeda halnya dalam sistem kapitalisme, memandang manusia hanya sebatas mesin pencetak uang. Dengan demikian diharuskan adanya peranan negara yang mampu mengontrol dan memenuhi semua kebutuhan rakyat, baik sandang, pangan, papan, keamanan, pendidikan. serta membuka lapangan pekerjaan. Sehingga rakyat terpenuhi hak-haknya, serta mendapatkan kesejahteraan dan kehidupan yang layak.
Hanya sistem Islam sebagai solusi tuntas, terbukti selama 13 abad mengayomi dunia, mampu mengatasi berbagai macam problematika umat yang terjadi saat ini, termasuk bidang ekonomi di dalamnya.
Wallahu'alam bishowab.
Editor :Esti Maulenni