Tata Kelola SDA Salah, Indonesia Semakin Terjajah

SIGAPNEWS.CO.ID - Negeri ini kaya raya, kekayaan terhampar dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan tersebut meliputi emas, minyak bumi, gas alam, batu bara hingga hasil lautan yang tersebar di berbagai daerah, timah, biji besi, perak, dan masih banyak lagi. Lalu ke manakah kekayaan yang melimpah tersebut?

Melihat fakta, bahwa kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi. Merujuk data World Population Review, Indonesia ada di urutan 73 negara termiskin di dunia. Ini sangat miris, kekayaan yang melimpah ruah tetapi rakyatnya miskin, pepatah mengatakan, seperti mati di lumbung padi. 

Dikutip dari: AKURATNEWS, Indonesia dengan kekayaan yang melimpah, ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Pemerintah mengakui 

bahwasanya telah salah urus dalam mengelola potensi tersebut. Susilo Siswo utomo sebagai Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada waktu itu, memberi pengakuan bahwa kesuksesan ekspor kekayaan alam Indonesia belum bisa menyejahterakan rakyat, karena diakibatkan oleh ketidakpaduan dalam internal pemerintah, khususnya pusat dan daerah. Masing-masing mengeluarkan aturan sendiri dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA). (AKURATNEWS.23/05/2022)

Dari pernyataan wakil Menteri ESDM di atas, mengindikasikan bahwa kekayaan Indonesia diserahkan pengelolaannya kepada asing karena pemerintah tidak bisa mengelola. Di sinilah letak kritisnya, jika pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada asing, maka yang terjadi malah akan menguasai, bukan keuntungan yang didapatkan malah negara akan buntung.

Padahal, Indonesia tidak hanya kaya akan SDA, tetapi SDM pun sangat banyak. Seharusnya bisa mandiri dalam mengelola kekayaan negeri tanpa harus bergantung kepada asing, SDM yang terampil akan mampu mengelola dengan baik.

Namun, karena sistem kapitalisme telah mencengkeram negeri ini, sehingga pemerintah tidak bisa berbuat banyak, para kapitalis berlomba untuk menguasai kekayaan SDA. Mereka saling bersaing memperebutkan kekayaan negeri ini, dengan penjajahan gaya baru ala mereka. Semakin jelas akan tata kelola yang salah, Indonesian semakin terjajah.

Harusnya negara mempunyai supremasi hukum yang jelas dalam tata kelola SDA ini, tidak bisa digoyahkan hanya dengan gertakan penjajah. Itu tidak akan bisa terwujud jika sistem yang digunakan masih sistem kapitalisme liberal dengan asasnya sekularisme. 

Kebobrokan sistem kapitalisme sudah sangat nyata didepan mata, untuk itu tidak boleh untuk dipertahankan lagi, sudah saatnya kembali kepada sistem yang shahih yakni sistem Islam yang akan membawa tatanan kehidupan yang lebih baik.

Dalam Islam, jelas kekayaan SDA merupakan pemberian dari Allah Swt untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Rasulullah Saw, bersabda, "Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api. (HR. Ibnu Majah)

Kemudian, Rasul Saw. juga bersabda, "Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api." (HR Ibnu Majah)

Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal dan Karim (1999: 72-73), mengatakan, "Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslim sebab hal itu akan merugikan mereka."

Konsekuensi dari sebuah keimanan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, bagi setiap muslim termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariat Islam.

Untuk itu, semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumber daya alam, harus dikembalikan pada Al-Qur'an dan as-Sunah. Allah Swt. berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya), Jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (TQS. An-Nisa: 59).

Wallahualam bissawab.