Janji Manis Proyek KCJB, Berbuah Utang Luar Negeri?

SIGAPNEWS.CO.ID - Sorotan terhadap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, rupanya belum usai. Kereta cepat tersebut, digadang-gadang dapat menempuh jarak 142,3 km dalam waktu 36-45 menit, yang mulai dibangun dari tahun 2015, dan diperkirakan selesai tahun 2023. Namun, sudah tepatkah ambisi pemerintah dalam pembangunan kereta cepat, di tengah himpitan ekonomi masyarakat yang kian sekarat?
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dijelaskan mengalami pembengkakkan biaya hingga $1,2 miliar. Pembengkakkan biaya tersebut diketahui telah disepakati oleh pihak Indonesia ataupun China. Melalui PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China). Pemerintah berencana meminjam dana dari China Development Bank (CDB), sebesar $550 juta atau setara Rp8,3 triliun, guna menutupi biaya pembengkakannya. Hal ini dikemukakan oleh wakil menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo.
Menurut pakar ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal, pembengkakkan biaya proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, diduga akibat buruknya perencanaan awal, dan ketiadaan mitigasi risiko. Akhirnya, pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pemerintah pun mau tidak mau harus terjun ke jeratan utang. Padahal beban utang Indonesia telah membengkak, selama masa pandemi Covid-19. Utang jangka pendek mungkin dapat mengatasi permasalahan APBN, namun berbeda dengan utang jangka panjang yang justru dapat membebani APBN dan ekonomi rakyat (voaindonesia.com,17/02/23).
Tampaknya, pemerintah bersikeras membangun proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, meskipun menelan biaya yang cukup fantastis. Proyek tersebut pada awal perencanaannya hanya membutuhkan biaya Rp86,5 triliun, bahkan pemerintah berjanji tidak akan menggunakan uang rakyat, tetapi mengandalkan kucuran dana dari investor.
Namun proyek tersebut dalam perjalanannya diterpa beragam masalah keuangan diantaranya, pembengkakan biaya dan kekurangan ekuitas defisit kas. Sehingga pembangunannya sempat mangkrak. Padahal para pakar telah banyak mengingatkan pemerintah akan inefisiensi proyek tersebut.
Proyek KCJB sejatinya bukan merupakan pembangunan yang mendesak dan urgent. Sebab sudah ada beberapa alternatif moda transportasi Jakarta-Bandung, seperti pesawat dengan waktu tempuh 20-30 menit, kereta api berdurasi sekitar 3 jam, bahkan bisa dicapai menggunakan mobil pribadi maupun kendaraan lainnya.
Ironis dalam negara kapitalisme, model pembangunan infrastruktur selalu didasari dengan untung rugi. Bukan semata untuk kepentingan rakyatnya, melainkan kerjasama antar korporasi yang dibalut regulasi negara.
Hal ini jelas, bahwa kerjasama tersebut pasti akan disepakati berdasarkan hukum bisnis. Maka wajar pemerintah saat ini ngebut mengeluarkan kebijakan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 93 tahun 2021, mengenai perubahan atas Perpres nomor 107 tahun 2015, tentang percepatan penyelenggaraan sarana dan prasarana KCJB.
Melalui peraturan baru, proyek tersebut pada awalnya diklaim tidak menggunakan uang rakyat, melainkan dari dana investor, berubah menjadi APBN, agar tetap berlanjut pembangunannya.
Dengan demikian, tindakan pemerintah terkesan memaksakan diri untuk membangun kereta cepat yang jor-joran, di tengah himpitan ekonomi masyarakat, merupakan sikap yang tidak bijaksana. Apalagi proyek tersebut bukanlah program prioritas, dan bermanfaat untuk rakyat. Bahkan, tidak sedikit pakar ekonom yang berpendapat, bahwa proyek ini akan menjadi beban masyarakat di masa mendatang, disebabkan negara terjerat utang riba luar negeri, yang merupakan buah janji manis proyek tersebut.
Read more info "Janji Manis Proyek KCJB, Berbuah Utang Luar Negeri?" on the next page :
Editor :Esti Maulenni