Ketika Remaja Kehilangan Hati Nurani

foto ilustrasi. net
Ketika seorang remaja telah kehilangan hati nurani, dia tak segan-segan membuat nyawa orang lain melayang. Demi menunjukkan eksistensinya, kekuatannya menjadi kelemahannya. Inilah fenomena yang terjadi dikalangan para remaja pelajar saat ini.
Di kutip dari berita ada kasus pembacokan pelajar di Bogor. Sebut saja Arya Saputra siswa kelas (X) sekolah di SMK Bina Warga. Tewas dibacok oleh tiga remaja berseragam sekolah SMA. Akibat sabetan senjata tajam ketika pulang dari sekolah. Padahal tidak ada permasalahan sama sekali dan sebelumnya tidak saling kenal. tribunJogja.com (10/3/2023)
Begitu juga dengan siswa SD kelas 6 dibacok oleh segerombolan motor pelajar SMP berjumlah 14 orang dengan alasan mencari musuhnya. Ketika pulang dari sekolah di Pelabuhan Ratu Sukabumi. tvOnenew.com. (4/3/2023).
Sebegitu sakitnya, apakah agamanya atau Nabinya, yang diejek hingga seorang pelajar SMP yang merupakan anak anggota DPRD Tegal tewas dalam tawuran antar pelajar SMP. kelompok tersangka, terlibat ejek-ejekan di media sosial dengan kelompok korban. Kedua kelompok ini bertemu di jalan lingkar Kota Slawi. Namun karena kalah jumlah, separuh kelompok korban akhirnya melarikan diri dan menyisakan korban seorang diri. Korban meninggal dunia karena pendarahan hebat akibat luka senjata tajam pada bagian paha dan tangan. beritasatu.com (13/3/2023).
Masih banyak lagi fakta yang lain ketika remaja kehilangan hati nuraninya dan akal sehatnya dan mungkin lebih tidak manusiawi lagi. Namun semua ini, publik sudah seharusnya menyadari, bahwa adanya kejahatan terjadi, dipicu oleh ketidak pahaman tentang tujuan hidupnya dan keyakinannya. Lebih miris lagi remaja didukung oleh sistem sekularisme-liberalisme
Remaja yang dibimbing oleh liberalisme, penampakannya akan seperti fakta di atas. Atas dasar kebebasan berprilaku dan untuk mempertahankan kelompok dan eksistensinya mereka tak segan-segan melakukan tawuran, mudah tersinggung, membunuh, saling mengejek yang berujung kematian. Inilah potret generasi yang krisis jati diri. Ketika masa muda diidentifikasi dengan kekuatan, senang menjadi jagoan, bisa memenangkan pertarungan, nyawa seolah tidak penting, yang penting ego dan harga diri harus dipertahankan.
Gejala zaman telah berhasil mempengaruhi para remaja lewat, konten-konten, sinetron, film, gaya hidup, semuanya dengan mudah kita saksikan. Kemudian, menjadikan inspirasi bagi kehidupannya. Mirisnya apa yang disaksikannya itu bermuatan perilaku arogansi, anarkis. Sayangnya, selama segala sesuatu yang bisa menguntungkan, negara tidak peduli dengan kerusakan generasi. Karena negara dan segala kebijakan ada dalam cengkraman sekuler. Akibatnya pemahaman tentang agama Islam hanya didesain sebatas ritual agama saja, tidak ada pemahanan mengenai tolak ukur perbuatan dalam kehidupan sehari hari yang sesuai dengan ajaran Islam.
Disamping itu hukuman pidana saat ini tidak membuat jera para pelaku. Hanya sebatas memberi sanksi moral dan razia dijalanan
Sangat berbeda jika lingkungan terbentuk dan dipengaruhi cara pandang Islam. Sistem Islam diterapkan bukan hanya spiritual saja tapi juga dalam kehidupan, Islam sebagai pondasi keluarga membuat orang tua dan anak mengetahui peran masing-masing. Sehingga pendidikan agama dan keluarga bisa berjalan secara optimal. Dengan Islam, masyarakat melakukan amar ma'ruf nahi munkar, yang bisa membuat individu atau kelompok berpikir dulu sebelum melakukan kejahatan
Sistem pemerintahan Islam yang didalamnya ada sistem pendidikan. Kurikulum hanya berbasis akidah Islam, walhasil pola sikap dan pola pikir terbentuk sesuai Islam. Para generasi akan memahami setiap perbuatannya. Terikat dengan hukum syara, ekstensi mereka diarahkan untuk kemuliaan Islam dan membantu masyarakat.
Peran negara khilafah hanya mengambil dan menerapkan sanksi-sanksi Islam. Pelaku pembunuhan dikenakan sanksi qishas jika keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Maka merujuk berdasarkan firman Allah Swt. "Wahai orang orang yang beriman diwajiban atas kamu melaksanakan qishos berkenaan dengan orang yang di bunuh." (TQS. Al Baqarah ayat 178)
Jika keluarga memaafkan, pelaku harus membayar diyat
sebanyak 100 ekor unta, dan 40 diantaranya unta yang sedang hamil. Kalau dirupiahkan bisa mencapai milyaran rupiah. Dengan sangsi sekeras itu orang yang mau tawuran jadi mikir jutaan kali. Inilah efek sistem sangsi dalam Islam penuh kebaikan bagi manusia. Semua itiy akan bisa terlaksana jika khilafah yang menerapkannya.
Wallahu'alam bishshawwab.
Penulis: Cahyati_Komunitas Ibu Peduli Generasi
Editor :Esti Maulenni