UU Cipta Kerja, Untuk Kepentingan Siapa?

foto ilustrasi.
Penulis: Rut Sri Wahyuningsih_Institut Literasi dan Peradaban
Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pada 30 Desember 2022 lalu telah menuai gelombang protes karena dinilai merupakan langkah “pembangkangan” pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki.
Namun, pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan Perppu Cipta Kerja ini sebagai bentuk perbaikan sebagaimana perintah MK, termasuk dikeluarkan dengan dalih kegentingan. “Nah, kalau isinya yang mau dipersoalkan silakan gitu, tetapi kalau prosedur sudah selesai,” kata Mahfud,” kata Mahfud MD (BBC.com, 4/1/2023).
Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang kini telah gugur karena Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini, memicu protes besar dan bahkan aksi mogok nasional dari kalangan buruh. Unjuk rasa juga dilakukan oleh para mahasiswa di sejumlah daerah di tanah air. Di antaranya dari Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia menyatakan sikap menolak pengesahan Perpu menjadi Undang-undang atau UU Cipta Kerja. Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang mendesak Presiden Joko Widodo dan DPR RI untuk membatalkan UU Cipta Kerja tersebut.
Melki menyebut Perpu Cipta Kerja pada dasarnya hanyalah salinan dengan minimnya perubahan dari UU Cipta Kerja yang bermasalah, baik secara formil maupun materiil sebagaimana yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Demikian pula proses keluarnya Perppu Ciptakerja oleh Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi pada 30 Desember 2022 lalu, dinilai bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan dipersyaratkan lebih lanjut oleh PMK Nomor 138/PUU-VII/2009, di mana tidak memenuhi ihwal kegentingan memaksa. “Pengesahan RUU tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi pertanda bahwa negara memiliki ragam cara untuk mengelabui konstitusi,” ucapnya lagi (TEMPO.CO, 23/3/2023).
Memang cukup panjang perjalanan UU Cipta Kerja ini, pada November 2021, MK memutuskan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Karena banyak pihak juga yang melakukan permohonan uji formil dan materiil ke MK. Kemudian MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen (BBC.com, 21/3/2023). Namun di tengah perjalanan itu pemerintah telah mengesahkan Perpu Cipta Kerja, dengan alasan kegentingankegentingan. Padahal secara isi tidak banyak perbedaan.
Beda lagi pendapat pemerintah, Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan UU Ciptaker akan memberikan kepastian hukum di tengah dinamika global saat ini. Sekaligus juga mendorong investasi serta menggerakkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah alias UMKM di Indonesia. UU Ciptaker, kata Airlangga, turut memuat kebijakan yang fleksibel dalam sektor ketenagakerjaan. “Dan tentunya dengan ditetapkannya menjadi UU, banyak peraturan pemerintah (PP) yang akan segera direvisi,” kata Airlangga.
Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak disahkannya RUU Penetapan Perpu Ciptaker jadi UU. Mereka menyoroti alasan kegentingan memaksa yang sudah tidak relevan mengingat usai terbit pada 30 Desember 2022, Perpu ini tak kunjung disahkan oleh DPR pada masa sidang sebelumnya.
Kembali Airlangga mengatakan ancaman terhadap ketidakpastian global itu nyata. Frasa kegentingan itu ada, kemudian Ia mencontohkan konflik Rusia-Ukraina, perubahan ikim, serta badai El Nino maupun El Nina. Beberapa hal itu merupakan hal yang real, dan berbagai negara pun gamang untuk merespon. Sedangkan bagi Indonesia itu penting karena ketidakpastian ini bisa menimbulkan pelarian modal.
UU Ciptaker Yang Merugikan Rakyat
Sebenarnya patut kita pertanyakan, pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja ini dibuat untuk siapa? Mengapa saling tuding bahkan saling tindih, antara pemerintah sebagai eksekutif, DPR sebagai Legislatif dan MK sebagai Yudikatif. Sebab jika merunut pada perjalanan panjang pembuatan sebelum akhirnya disahkan menunjukkan bahwa UU ini masih menyimpan banyak pertanyaan dan perubahan. Artinya ,jika sesuatu yang dimaksudkan untuk mengatur sesuatu namun masih menimbulkan persoalan bukankah itu berarti tidak layak dijadikan sebagai peraturan?
Salah satu yang termaktub di dalam UU Cipta Kerja itu adalah Penentuan Upah minimum (UMR) yang masih menjadi problem dalam gaji buruh. Penentuan UMR ini menggunakan variable inflasi dan “indeks tertentu” yang merugikan buruh. Belum lagi persoalan outsourching yang membuat nasib buruh semakin malang. Sehingga hampir bisa dipastikan setiap tahunnya buruh mengadakan demo demi perubahan, demikian pula pengusaha mendesak pemerintah agar segera mengadakan perubahan pula. Muncullah pemerintah sebagai “ penengah dan dewa penyelamat” namun yang terjadi malah menimbulkan persoalan kian rumit.
Kapitalisme Akar Carut Marutnya Perundang-undangan
Sebuah peraturan dimaksudkan untuk mengatur segala sesuatu sehingga diperoleh hasil keteraturan. Maka, baik buruknya peraturan bergantung pada landasan dibuatnya peraturan tersebut. Berulangnya bongkar pasang UU Cipta Kerja ini tak lepas dari pendapat yang mengatakan bahwa UU ini dibuat manusia, dengan kepentingan berbeda, siapa yang jika bukan dari pengusaha? Sebab, begitu disahkan tak sedikitpun menyentuh kepentingan pekerja, bahkan ketika pemerintah ikut campur pun kesejahteraan malah semakin jauh.
Inilah bukti sistem kapitalisme masih menjadi landasan pengaturan urusan rakyat. Segala sesuatu didirikan di atas konsep siapa yang memiliki kekuasaan ( baca modal). Tentu saja para pengusaha multinasional, para korporat itu sukses menyetir pemerintahan ini untuk tunduk dengan apa yang mereka katakan. Terlebih dalam sistem kapitalisme, peran pemerintah dibatasi, hanya sebagai regulator kebijakan, bukan eksekutor, pelaku utama perekonomian adalah para pemegang kapital atau modal itu sendiri.
Terjadilah kerjasama politik antara pengusaha dan pemerintah, misalnya pada tahun politik ini banyak dari calon pemimpin yang mendapat suntikan dana dari pengusaha, lebih dikenal dengan biaya politi, agar kelak ketika calon pemimpin tadi lolos sebagai pemimpin melalui mekanisme yang disepakati, bisa memudahkan berbagai urusan para pengusaha tersebut, termasuk jika harus ada SDA yang dieksploitasi. Padahal itu adalah kepemilikan rakyat yang juga sudah di atur dalam UUD 1945.
Selama kapitalisme ini yang digunakan, maka “ perseteruan” pengusaha dan pekerja tak akan pernah berakhir karena terus menerus terjadi tarik ukur kepentingan. Adakah solusinya?
Islam Solusi Terbaik
Islam memberikan solusi terbaik dalam urusan pekerja dan pengusaha. Islam mengatur urusan ini berdasarkan Wahyu Allah, sehingga bebas dari kepentingan manusia yang malah memunculkan kesengsaraan. Maka, Islam akan menetapkan satu aturan yang berisi pengaturan pemilik kerja dan pekerja (buruh) secara rinci, tidak menyebabkan terjadi kezaliman tetapi kemaslahatan di antara dua belah pihak. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya,” ...Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut...” (Qs al-Baqarah :233).
Artinya besaran upah ditentukan oleh kedua belah pihak, yaitu pemberi kerja (pengusaha) dan pekerja. Tergantung pada jenis pekerjaan, ketrampilan yang dimiliki pekerja, berapa lama dan lainnya yang itu jelas baik bagi pengusaha maupun pekerja. Pemerintah tidak diperbolehkan mencampuri akad itu kecuali jika ada perselisihan terkait upah, maka para ahli yang ditugaskan negara untuk menyelesaikan akan menggunakan upah yang semisal.
Negara juga akan menciptakan atmosfir bekerja yang sehat, di antaranya membuka lapangan pekerjaan yang banyak bagi rakyat, di antaranya di dapat dari pendirian BUMN yang akan mengelola hasil tambang, SDA dan lainnya yang menjadi kepemilikan umum atau negara. Negara akan memberikan dana berupa benda bergerak ataupun tidak bergerak sebagai modal untuk berusaha bagi mereka yang menyukai bekerja secara swasta atau mandiri.
Kepada pengusaha, negara hanya mengontrol apakah ada kezaliman atau tidak . Misal penundaan pembayaran gaji, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi saw bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Demikian pula terkait pemenuhan kesejahteraan pekerja tidak dibebankan kepada pengusaha, melainkan ada dalam jaminan negara. Inilah yang akan menghilangkan perselisihan, sebab, kapitalisme membebankan kesejahteraan di pundak pengusaha, otomatis karena tujuannya untung, maka gaji pekerja ditambahkan dalam biaya produksi, yang otomatis menambah harga jual sebuah produk. Dan harga produk yang mahal, di saat daya beli masyarakat lemah menjadi persoalan baru. Kembali pekerja yang dirugikan karena perusahaan akan mengambil langkah Pemutusaj Hubungan Kerja (PHK).
Demikianlah, akan ada perbedaan yang sangat signifikan ketika urusan pekerja dan pengusaha ini ada dalam sistem Islam. Segala sesuatu dilandasi dengan apa yang dilarang dan diperintahkan Allah SWT. Maka, jika ingin perubahan ke arah yang lebih baik, semestinya kita cabut kapitalisme dan diganti dengan syariat Allah yang mulia. Wallahu a’lam bish showab.
Editor :Esti Maulenni