Arcturus Melanda, Akankah Kita Tetap Berleha-leha?

SIGAPNEWS.CO.ID - Arcturus, nama yang diambil dari nama bintang yang paling terang di belahan bumi utara, disematkan pada varian covid-19 terbaru yang tiba-tiba saja membuat kasus covid -19 kembali mengalami lonjakan di negara Asia seperti India dan Singapura, dan kini telah menjadi kekhawatiran di Indonesia karena dalam sepekan terakhir ( 15-22 April 2023 ) kasus Covid-19 naik sekitar 18% atau bertambah menjadi 7.015 kasus dari sebelumnya 5.938 kasus (CNBC Indonesia, 23/04/2023).
Momen Lebaran pun dikhawatirkan akan membuat penyebaran varian semakin mengancam dikarenakan peningkatan mobilitas warga selama lebaran terlebih Indonesia pernah mengalami tiga gelombang Covid-19 pasca liburan panjang. Yang pertama, Covid-19 varian Beta yang terjadi di akhir tahun 2020 setelah masa liburan, yang kedua Varian Delta yang menyebar pasca Idul Fitri Mei 2020, dan yang terakhir Varian Omicron pada Februari 2022. Lonjakan kasus Covid-19 varian Arcturus atau XBB 1.16 yang sangat menular ini membuat Kementerian Kesehatan meminta masyarakat kembali memakai masker dan menjalankan pola hidup sehat.
WHO dalam laman resminya menyatakan bahwa varian Arcturus telah menjadi varian of interest. Sementara itu, menurut Dr. William Schaffner, seorang profesor kedokteran pencegahan, kebijakan kesehatan, dan profesor Divisi Penyakit Menular di Vanderbit University, Arcturus adalah sub-varian omicron. Arcturus memiliki satu mutasi tambahan pada protein lonjakan yang membuatnya lebih menular daripada omicron. Varian ini pertama kali terdeteksi di India pada 23 Januari lalu dan menyebabkan lonjakan kasus naik hingga 281% dalam 14 hari. Tingkat kematian pasien pun meningkat 17%. Pemberitaan Healthline (18/4/2023 ) melansir bahwa varian ini telah memasuki 29 negara. WHO pun memperingatkan bahwa subvarian Arcturus akan cepat menyebar dalam waktu singkat mengingat varian ini 1,2 kali lebih menular dari strain Kraken. Gejala Covid-19 Arcturus cenderung mirip dengan gejala subvarian Omicron lain yaitu demam dan menggigil, batuk, pilek, sakit kepala, nyeri otot, dan sakit tenggorokan.
Lonjakan kasus Covid-19 varian Arcturus yang tinggi membuat kecemasan tersendiri. Kita memang merasakan kelelahan yang panjang akibat pandemi yang melanda negeri belum lama ini, namun kasus Covid-19 yang sempat reda beberapa waktu yang lalu tak lantas membuat kita harus menurunkan kewaspadaan dan lengah akan bahaya yang bisa saja selalu mengintai kita. Terbukti saat ini varian covid-19 terbaru telah banyak memakan korban jiwa, seperti di Singapura, varian Arcturus telah membuat negeri yang dijuluki “Kota Singa” ini diterjang gelombang pandemi yang ke-10. Bukan tak mungkin hal serupa bisa saja terjadi di negara kita.
Namun sayang, meningkatnya kasus Covid-19 varian terbaru tak ditanggapi dengan cepat, penjagaan dan berbagai kebijakan terkait penanganan kasus ini terlihat makin longgar dan kendor. Masyarakat pun tak terlalu serius menanggapinya. Mayoritas masyarakat bahkan banyak yang menganggap varian baru ini hanya demam dan flu biasa. Aktivitas masyarakat pun sudah banyak yang tak lagi peduli dengan protokol kesehatan. Kita perlu bergerak cepat, cukuplah pandemi yang lalu menjadi pelajaran banyaknya korban dan terpuruknya kehidupan dari segala aspek akibat penanganan yang lambat. Penguasa juga harus berperan maksimal, bijak dan tegas dalam mengambil keputusan atau pun menetapkan sebuah kebijakan. Bukan hanya sekedar himbauan, peringatan atau saran yang disosialisasikan melainkan turun langsung ke lapangan.
Dalam menanggulangi kasus Covid-19 yang cepat menular dan berbahaya akan diperlukan dana yang tidak sedikit dan dibutuhkan kebijakan karantina untuk memutus mata rantai penularan, seperti yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab saat terjadi wabah di Syam Namun sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah membuat keuangan negara labil, hutang negara yang sudah menggunung ditambah dengan persoalan ekonomi lainnya membuat negara ini seakan tak berdaya, walhasil setiap kebijakan terkait penanganan kasus covid-19 seringkali tak menyentuh akar persoalan karena kerap terintervensi oleh berbagai kepentingan.
Berbeda sekali dengan sistem Islam. Dalam Islam, pendapatan negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang melimpah, ditambah lagi dari berbagai pos seperti ganimah, jizyah, fai, kharaj, dan zakat akan meniscayakan keuangan negara akan senantiasa stabil. Keuangan yang stabil tentu akan mampu membiayai seluruh kebutuhan akan penanganan kasus terkait Covid-19. Mulai dari karantina, fasilitas kesehatan, obat-obatan, hingga jaminan pemenuhan kebutuhan hidup untuk masyarakat yang sakit dan tak mampu bekerja selama karantina ataupun masyarakat lain yang terdampak covid-19.
Sumber daya alam yang dikelola sendiri oleh negara akan menghasilkan pendapatan yang lebih dari cukup untuk mengisi kas negara. Kemandirian dan ketangguhan finansial yang dimiliki oleh pemerintahan Islam dan rangkaian kebijakan terkait penanggulangan wabah atau pandemi yang selalu didasarkan pada syara akan membuat negara selalu siap, tidak gagap dan cepat tanggap dalam menghadapi kondisi sulit dan tak terduga seperti datangnya wabah secara tiba-tiba. Maka dari itu selayaknya kita sebagai muslim harus selalu berpegang pada aturan-Nya dalam memecahkan berbagai masalah.
Wallahualam bisshawab
Editor :Esti Maulenni