RUU Omnibus Law Kesehatan Ala Kapitalisme

SIGAPNEWS.CO.ID - Terkait dengan rencana penyusunan omnibus law kesehatan, yang akan diatur dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan, bertujuan untuk memberikan penguatan terhadap regulasi kesehatan yang terbagi menjadi beberapa undang-undang berbeda. Pro dan kontra terhadap hal ini terus bergulir, terutama penolakan dari kalangan profesi kesehatan.
Penyederhanaan regulasi sangat penting untuk dilakukan. Upaya pemerintah untuk mengadopsi omnibus law kesehatan, sebagai kebijakan hukum nasional dengan harapan tercapai tujuan, untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di negeri ini merupakan tantangan dan peluang kedepannya.
Omnibus law menjadi fokus penguasa di negeri ini, dengan dalih dapat menyelesaikan masalah regulasi dan birokrasi yang tumpang tindih. Kemudian dengan harapan dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, dan menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Lantas, akan berhasilkah rancangan tersebut sebagai solusi kesejahteraan rakyat secara menyeluruh?
Faktanya, melalui RUU Kesehatan mereka mencoba menjajah tenaga dan fasilitasnya dengan berkedok perbaikan dan investasi. Wacana ini terkesan terburu-buru, terbukti dengan banyaknya pasal kontroversial yang menyebabkan polemik diantara masyarakat, dengan tidak melibatkan organisasi profesi bidang kesehatan dalam penyusunannya. Bahkan tidak adanya perlindungan dan kepastian hukum tenaga kesehatan (Nakes) jika RUU ini disahkan.
Semua ini menimbulkan protes dikalangan beberapa organisasi profesi kesehatan, yang menggelar aksi demonstrasi terkait penolakan RUU Kesehatan, diantaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), yang berlangsung hari Senin (8/5/2023).
Menurut Ketua PPNI Harif Fadillah, dalam konferensi pers "Stop Pembahasan RUU Kesehatan (omnibus law)" mengatakan, "RUU kesehatan berpotensi memperlemah perlindungan dan kepastian hukum bagi perawat ataupun nakes dan masyarakat, serta mendegradasi profesi kesehatan dalam sistem kesehatan nasional." (Kompas.com Rabu, 3/5/2023)
Pembahasan RUU kesehatan omnibus law sangat tidak transparan dan tak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, tidak ada naskah akademik yang dibicarakan bersama pemangku kepentingan dan masyarakat untuk melihat dasar filosofi, sosiologi, juga yuridis yang bertujuan untuk kebaikan bangsa, sehingga dianggap sarat kepentingan oligarki dan kapitalis.
RUU kesehatan ini merupakan sarat kepentingan atas liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan, yang akan mengorbankan hak rakyat selaku konsumen kesehatan. Gerakan pelemahan terhadap peran profesi kesehatan karena tidak diatur dengan undang-undang tersendiri.
Inilah watak dan sudut pandang bisnis kapitalisme dalam bidang kesehatan. Paradigma sistem ini menggunakan bisnis kesehatan sebagai upaya untuk mewujudkan keinginan mereka, dikarenakan kebutuhan kesehatan adalah sesuatu yang mendasar bagi masyarakat. Sudah tentu peluang profit yang cukup besar, sebab rakyat pasti membutuhkan layanan kesehatan, seperti dokter, perawat, obat-obatan, serta fasilitas lainnya.
Sangat berbeda dalam sistem Islam, kesehatan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia. Sehingga tidak boleh dikapitalisasi atau dijadikan ladang bisnis demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Negara adalah penanggungjawab serta penyelenggara dalam menyediakan sistem, layanan, dan fasilitas kesehatan bagi rakyat tanpa terkecuali.
Penerapan sistem kesehatan Islam yang ditopang oleh sistem pemerintahan yang amanah, penguasa yang me-riayah, juga tenaga kesehatan yang profesional, akan mewujudkan layanan kesehatan yang berkualitas. Tidak akan ada lagi pandangan bisnis dan profit dalam pelayanan kesehatan, sebagaimana yang berlaku dalam sistem kapitalisme. Dengan penerapan sistem Islam yang menyeluruh dalam setiap lapisan masyarakat, maka akan mampu menjawab kesemrawutan kesehatan saat ini.
Wallahu a'lam bishawab
Editor :Esti Maulenni