Saat 'Melon' Bermutasi Menjadi 'Buah Naga'

Foto: ilustrasi.net
Masyarakat telah lama resah terkait ketersediaan LPG melon yang kerap langka dan sering mengalami ketidakstabilan harga. Di tengah kelangkaan gas dan berbagai kenaikan harga barang kebutuhan yang lain, isu terkait peluncuran LPG 3 kg Non subsidi kembali membuat masyarakat pusing.
Kelangkaan gas melon kembali terulang, Pertamina sebagai pihak yang penyedia dan penyalur mengatakan bahwa kelangkaan gas terjadi karena peningkatan konsumsi. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan bahwa terdapat peningkatan konsumsi di bulan Juli sebesar 2% sebagai dampak dari libur panjang kemarin. Namun Pertamina berupaya dan akan terus berkomitmen untuk menjaga pasokan agar tetap aman. Pertamina akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memastikan ketersediaan pasokan serta penyaluran LPG 3 kg bersubsidi tepat sasaran (tirto.id, 25/07/2023).
Namun sayang, pernyataan pihak Pertamina yang akan berupaya menjaga ketersediaan stok gas elpiji agar tetap aman tetap membuat masyarakat tidak tenang karena adanya kebijakan pemerintah yang akan meluncurkan produk LPG 3 kg Non subsidi bermerek Bright Gas berwarna pink buah naga dengan harga yang lebih mahal ( Rp 56.000 ) dari gas melon subsidi ( Rp 20.000 ). Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto bahkan menilai kebijakan ini adalah kebijakan ‘Super Tega’ yang dilakukan pemerintah di tengah kelangkaan gas melon ( www.dpr.go.id, 27/07/2023 ).
Respon keras anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto sangat beralasan, mengingat gas melon subsidi saja masyarakat masih banyak yang tidak mampu menjangkaunya ditambah praktik penyaluran dan distribusi gas subsidi yang banyak diwarnai kecurangan seperti pengoplosan. Sebenarnya Bright Gas 3 kg telah diluncurkan sejak tahun 2018 oleh Pertamina Patra Niaga namun masyarakat masih banyak yang belum mengetahuinya. Bright Gas diklaim lebih aman karena dilengkapi Double Spindle Valve System (DSVS).
Ketersediaan LPG menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Terjadinya kelangkaan dan harga gas yang makin menjulang adalah tanda gagalnya pemerintah memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Adanya LPG non subsidi yang diklaim lebih aman dalam waktu yang bersamaan jelas akan memberikan ‘pasar’ bagi pengusaha. Dengan limit margin sekitar Rp 36.000 dari gas subsidi maka peluncuran bright gas akan menjadi prospek yang menggiurkan. Ukuran tabung yang sama juga akan lebih memudahkan para pengoplos.
Begitulah jika kebijakan ekonomi didasari oleh sistem kapitalisme. Tak bisa dipungkiri kelangkaan LPG yang kerap terjadi merupakan dampak dari berbagai kebijakan terkait kebutuhan rakyat akan LPG. Diawali dengan kebijakan konversi minyak tanah ke LPG di tahun 2007, di saat itu permintaan akan LPG semakin besar yang mencapai 8 juta ton, namun produksi LPG justru mengalami penurunan hingga beberapa kali dan hanya bisa memproduksi 2 juta ton, tentu saja terjadi defisit 6 juta ton yang kemudian ditutupi kembali dengan kebijakan lain yaitu impor.
Meluncurkan LPG non subsidi di tengah kelangkaan LPG bersubsidi dengan hanya berdasarkan survey konsumen dan merupakan opsi bagi masyarakat yang ingin membeli LPG 3 kg non subsidi, rasanya kurang tepat dan tidak bijaksana. Fakta di lapangan mengatakan kebalikannya, warga yang bisa membeli yang non subsidi malah masih ada yang membeli LPG bersubsidi.
Produksi LPG yang terus mengalami penurunan dan dikuranginya LPG bersubsidi akan berdampak pada kelangkaan, dan pada akhirnya mau tidak mau rakyat akan mengambil LPG non subsidi. Berikutnya, kondisi ini akan berdampak pada ekonomi masyarakat, di mana harga kebutuhan hidup yang lain akan ikut merangkak naik. Sekali lagi, rakyat kembali terkena imbas. Telah menjadi rahasia umum bahwa sistem kapitalisme adalah sistem bobrok yang meniscayakan semua aspek hidup adalah bahan komoditi, tak ada yang tak bisa dikomersialisasi, yang ada hanya untung dan rugi, tak peduli meski hak rakyat dijadikan komoditas demi memuaskan nafsu penguasa yang tak terbatas.
Dalam Islam, minyak bumi dan gas alam adalah harta milik rakyat, yang pengelolaannya diserahkan pada negara. Rasulullah Saw pernah bersabda bahwa “ Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu padang rumput, air dan api”. ( HR. Abu Dawud dan Ahmad ). Hadist ini bermakna sumber daya alam, tambang, dan lain sebagainya merupakan harta kepemilikan umum yang tidak boleh diswastanisasi. Negara berkewajiban mengelola dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Sistem dalam Islam memiliki skema tersendiri dalam mengelola harta milik rakyat, mulai dari produksi hingga distribusi. Islam juga memberi sanksi tegas pada para pelaku pelanggaran yang akan meminimalisir adanya kelangkaan, tindakan kecurangan seperti penimbunan, dan pengoplosan. Islam juga akan menjaga kestabilan harga yang beredar di pasaran.
Wallahualam bis shawab
Editor :Esti Maulenni