Papua Sayang, Papua Malang

SIGAPNEWS.CO.ID - Siapa yang tak mengetahui Raja Ampat? Atau wilayah tambang emas terbesar di negeri ini? Tentu semua sudah paham betul wilayah apa yang dimaksud, pasti akan menjawab Papua.
Keindahan alam yang luar biasa ditambah kekayaan alam melimpah ruah menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi Papua. Tak tanggung-tanggung, logam mulia nan mahal harganya pun ada di sana. Sebagian besar akan berpikir sama, tentulah wilayah tersebut sejahtera dan damai yang ada. Namun ternyata, dugaan tersebut tidak sejalan. Nyatanya di Papua, sebagian besar penduduknya masih berada di bawah garis kemiskinan. Pembangunan serta pendidikan pun sangat jauh jika dibandingkan dengan wilayah lain di negeri ini. Sungguh miris dan sedih melihatnya. Bak pepatah mengatakan Papua sayang, Papua malang.
Hal tersebut diperparah dengan kondisi iklim saat ini, yaitu musim kemarau. Sebagaimana dikutip kompas.com (30/07/2023), kemarau panjang telah melanda wilayah Papua. Sekitar 7000 warga terancam mengalami kelaparan sehingga mereka harus mengungsi ke wilayah lain. Dari data yang ada, setidaknya enam orang (seorang bayi dan lima orang dewasa) telah meregang nyawa akibat kelaparan.
BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menyebutkan bahwa kemarau panjang dan kekeringan yang terjadi di Papua ini dampak dari El Nino (Juni 2023). Badai tersebut telah mengakibatkan tanaman pokok yang berupa umbi-umbian layu dan akhirnya mati. Kegagalan panen dirasakan oleh masyarakat Papua.
Menarik jika kita bahas Papua secara mendalam, dua kondisi yang begitu sangat berkebalikan. Di satu sisi sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas, bahwa wilayahnya begitu kaya akan SDA namun masyarakatnya meraih peringkat termiskin di Indonesia. Sungguh, rasanya tidak masuk akal terkait dengan dua fakta tersebut. Namun apa mau dikata, memang seperti itulah wajah asli Papua saat ini.
Terkait dengan SDA yang luar biasa di Papua adalah logam mulia. Dikutip dari inews.id (05/11/2022) bahwa Freeport mulai datang serta mengeruk emas di Papua pada 1967. Hal tersebut menjadi kontrak pertama negara dengan perusahaan asing. Bahkan perusahaan tersebut memulai proses penambangan jauh sebelum itu, yaitu pada 1959. Bahkan kontrak penambangan berakhir sampai 2041 mendatang.
Innalillahi, ternyata kontrak penambangan Freeport masih terhitung lama (8 tahun). Sebanyak apa emas dan tembaga yang berhasil ditambang untuk kemudian 'diboyong' ke negeri yang mempunyai aset besar pada perusahaan tersebut. Ini adalah salah satu indikasi patut diduga bahwa ada unsur kesengajaan untuk terus mempertahankan Freeport di Papua. Buktinya apa? Pemerintah sendiri telah memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai tanda legalitas untuk upaya penambangan. Dan hal tersebut diizinkan sampai pada 2041 yang akan datang. Ini menjadi bukti bahwa pemerintah lebih condong kepada para pemilik modal atau kapital ketimbang rakyatnya sendiri.
Hal tersebut wajar saja dilakukan karena sistem yang ada saat ini membuat segala sesuatunya dinilai dengan materi dan keuntungan. Artinya standar yang ada hanya pada kedua hal itu, selebihnya tidak dipikirkan. Akan wajar pula jika kesan yang muncul adalah seperti melepaskan tanggung jawab untuk mengurus Papua lebih jauh. Mengapa pemerintah tidak sigap dan serius untuk mencari solusi yang terjadi di Papua? Banyak lini yang sangat tertinggal dari wilayah lain. Seperti kesehatan, pendidikan, akses toilet, pembangunan, dan lainnya. Belum lagi konflik yang terus terjadi antara OPM dengan TNI, rasanya tidak akan selesai persoalannya.
Begitulah adanya jika kapitalisme sekuler diterapkan dalam kehidupan manusia. Persoalan yang ada tak mampu diselesaikan sampai akarnya. Akan muncul dan tenggelam, tidak akan pernah tuntas.
Read more info "Papua Sayang, Papua Malang" on the next page :
Editor :Esti Maulenni