Politik Harus Terikat Hukum Syara'

Foto: ilustrasi.net
Menjelang pelaksanaan pemilu 2024, muncul pernyataan-pernyataan terkait agama dan politik. Politik (Siyasah) secara bahasa berasal dari kata “saasa-yasuusu-siyaasatan” yang berarti memimpin, mangatur atau memamanaj. Sebagaimana bunyi hadits Rasulullah SAW :
Artinya: “Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap seorang Nabi wafat, diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi….” (HR Bukhari)
Sedangkan secara istilah, politik artinya “mengurusi urusan umat”, politik dalam Islam berarti “mengurusi urusan umat dengan syari’at Islam”.
Islam adalah agama yang sempurna. Agama ini diturunkan oleh Allah untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Manusia diperintahkan untuk masuk ke dalam agama ini secara kaaffah (menyeluruh), maka berpolitik pun ada aturannya di dalam Islam dan harus menjadikan akidah Islam sebagai landasan dalam setiap aktivitas, termasuk aktivitas politik.
Nabi Muhammad SAW, disamping seorang Nabi dan Rasul, Beliau juga seorang kepala negara yang telah mengatur urusan umat dengan bimbingan wahyu dari Allah SWT. Beliau terapkan aturan Allah SWT melalui intitusi yang didirikan di Madinah Al-Munawwaroh. Masjid Nabawi yang dibangun, tidak hanya untuk ibadah, tapi juga urusan bernegara. Beliau mengirim delegasi ke negara-negara lain untuk mengajak mereka memeluk agama Allah.
Meskipun respon dari negara yang didakwahi bermacam-macam, ada yang menerima dan menolak, tapi Beliau tidak berhenti berdakwah. Ini menunjukkan bahwa tujuan mendirikan negara adalah untuk menerapkan syari’at Allah dan menyebarkannya. Jadi agama tidak bisa dipisahkan dengan politik. Begitupun sebaliknya, politik tidak boleh lepas dari agama. Tidak ada area bebas hukum Allah, semua perbuatan akan dimintai pertangungjawaban dihadapan Allah, termasuk aktivitas politik.
Dalam sistem Islam, seorang pemimpin diangkat untuk menjalankan syari’at Allah, syarat menjadi pemimpin dalam Islam cukup ketat, diantaranya harus muslim, laki-laki, adil, capable, beriman dan bertaqwa, fakih, diutamakan mujtahid. Tentunya setiap pemimpin dalam Islam memiliki rasa khauf yang tinggi kepada Allah, seperti para khufa’ul rasyidiin.
Pemilihan pemimpin dalam Islam tidak harus mengluarkan biaya kampanye yang besar, dan tidak akan ada money politic, karena para calon pemimpin dalam Islam justru merasa kepemimpinan adalah amanah berat yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Maka wajar jika Umar bin Khattab sangat takut seandainya ada hewan yang terpeleset karena jalan rusak, apalagi jika manusia yang terpeleset. Beliau berpatroli di malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya dan segera bertindak jika ada rakyat yang belum terpenuhi hak-haknya.
Begitulah ketika berpolitik dengan landasan agama, yang dicari adalah keridhaan Allah. Ketika manusia bertakwa dengan menerapkan aturan Allah, Allah turunkan keberkahan dari langit dan bumi, maka terwujudlah ‘baldatun toyyibatun warobbun ghafur’ seperti yang diharapkan. Sejarah telah membuktikan, pernah terjadi di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, seluruh rakyat sejahtera, tidak ada yang menerima zakat hingga ke wilayah Afrika. Dengan demikian, ketika berpolitik berlandaskan akidah Islam, maka kebaikan dunia akhirat in syaa Allah akan diraih. Wallahu A’lam
Editor :Esti Maulenni