Mantan Koruptor Ikut Nyaleg, Standar Apa Yang Dipakai?

SIGAPNEWS.CO.ID - Tak terasa, pesta perhelatan pemilu sebentar lagi akan diadakan. Tepatnya tahun depan, Pemilihan Umum di negeri ini akan dilaksanakan. Tentunya semua sibuk mempersiapkan hajatan besar lima tahunan tersebut. Semua berbondong-bondong untuk mendaftarkan dirinya menjadi orang yang akan dipilih. Baik itu pemilihan orang nomor satu di negeri ini, di wilayah, menjadi anggota dewan baik ditingkat pusat ataupun daerah.
Dikutip dari laman voaindonesia.com (28/08/2023) Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) pemilu 2024. Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan 15 mantan koruptor terdata dalam DCS. Mereka maju melenggang untuk menjadi bacaleg ditingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Para mantan koruptor dapat mencalonkan diri karena melihat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. MA telah mencabut larangan eks napi koruptor nyaleg karena bertentangan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. (cnnindonesia.com, 24/8/2022)
Melihat fakta di atas, wajar jika terjadi seperti itu. Karena sistem demokrasi liberal tentunya akan menjunjung tinggi kebebasan yang berwujud dalam perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Walaupun ibarat dua kejadian yang saling bertolak belakang, namun tetap saja diperbolehkan. Sungguh, ini yang kemudian membuat bingung masyarakat. Dan muncul pertanyaan di benak kita semua, akankah para eks narapidana koruptor tersebut mampu membawa negeri ini menuju sebuah perubahan? Atau keluar dari segala persoalan yang ada. Takutnya yang akan terjadi justru sebaliknya.
Melihat pada peraturan yang ada saat ini, semua lahir dari pemikiran manusia. Hal tersebut akan condong pada sesuatu yang akhirnya baik menurut sebagian kelompok dan salah menurut yang lainnya. Hal tersebut wajar terjadi karena akal manusia itu terbatas, serba kurang, dan lemah. Ditambah lagi tumpang tindihnya aturan menjadi suatu kondisi yang biasa dan sering terjadi. Sehingga kebingungan yang kemudian mengemuka dan harus memutuskan atau membuat undang-undang yang akhirnya bisa 'berdamai' dengan situasi yang ada.
Tidak jauh-jauh, aturan terkait dengan pencalonan legislatif telah diatur dalam Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018. Namun ternyata Mahkamah Agung sendiri telah mencabut aturan tersebut karena dinilai melanggar HAM. Utamanya bersinggungan dengan hak politik, karena setiap warna negara berhak dipilih dan memilih.
Dari sini akan kita dapati bahwa persinggungan aturan benar terjadi. Patut diduga bahwa syarat akan berbagai kepentingan serta keinginan dari segilintir kelompok. Amat kentara bahwa siapa yang mempunyai kekuasaan serta mempunyai modal besar maka dengan mudahnya mampu membeli peraturan yang ada. Karena dalam sistem ini kebebasan begitu sangat dijunjung tinggi, termasuk pula pada aturan dalam kehidupan ini dibuat oleh manusia. Padahal kita mengetahui, jika manusia membuat sebuah aturan tentulah syarat akan berbagai kepentingan.
Read more info "Mantan Koruptor Ikut Nyaleg, Standar Apa Yang Dipakai?" on the next page :
Editor :Esti Maulenni