Nasib Pekerja Fatal, Akibat PHK Massal

Foto ilustrasi. Sumber net.
Belakangan ini, ramai diperbincangkan mengenai PHK massal yang terjadi di beberapa Startup di Indonesia. Perusahaan rintisan yang belum lama beroperasi, artinya baru masuk pada pengembangan dan penelitian, untuk terus menemukan pasar maupun memajukan produknya. Lebih dari 15.000 karyawan mengalami pengurangan tersebut, dengan alasan efisiensi bisnis. Mengapa hal ini dapat terjadi? Padahal industri teknologi tengah berkembang amat pesat, apalagi pasca dilanda badai Covid-19.
Gelombang PHK tidak hanya di Indonesia saja, namun juga terjadi secara global yang mengakibatkan kondisi ekonomi tidak stabil. Semua itu diakibatkan oleh nilai tukar mata uang yang terus jatuh dan mengalami inflasi. Sehingga mengakibatkan banyak investor mulai berfikir ulang, memberikan dana mereka terhadap Startup.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Startup dipaksa harus berinovasi untuk dapat menjadi yang terdepan dan unggul. Namun dalam kenyataannya, tak jarang mereka gagal meskipun telah mengeluarkan dana yang cukup besar. Inilah yang menyebabkan perusahaan tersebut memiliki kondisi yang kurang baik, sehingga mengakibatkan PHK.
Kemudian bagaimana nasib pekerja yang terkena PHK? Sudah tentu mereka kesulitan untuk biaya hidup di era yang serba sulit. Di sistem saat ini, yaitu kapitalis demokrasi dengan bebas melakukan apa saja sesuai keinginan mereka, tanpa memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Seharusnya hal itu menjadi tanggung jawab negara, tapi pada faktanya pemerintah lalai dan terus membebani masyarakat dengan berbagai problematika hidup, yang seakan tak pernah ada akhirnya.
Masalah PHK Startup dituding sebagai penyebab kondisi makro ekonomi. Bukankah hal tersebut juga dihadapi oleh semua jenis usaha? Akan tetapi yang lain mampu eksis, dan tidak sampai melakukan PHK massal. Mungkin saja penyebab utamanya karena kekeliruan dalam menerapkan strategi bisnis, khususnya yang disebut dengan "bakar uang".
Bakar uang di sini adalah upaya promosi dalam menggaet pelanggan baru dan meningkatkan loyalitas pelanggan lama, dengan memberikan diskon besar-besaran. Contohnya dengan adanya program Cashback, penambahan poin, bonus, dan lain sebagainya. Secara kalkulasi bisnis, hal tersebut membuat persaingan sesama Startup menjadi tidak sehat. Sehingga berujung pada PHK massal. (Kompasiana.Com 3/6/2022)
Mencermati hal ini, jelas terdapat imbas keserakahan kapitalisme dan diskriminasi oleh penguasa. Bagaimana tidak? Jelas bahwasanya pemerintah hanya mengutamakan kepentingan para korporat saja, tanpa memikirkan akibat yang terjadi pada masyarakat khususnya para pekerja. Sudah pasti angka pengangguran dan kemiskinan tidak dapat terhindarkan, sehingga rakyat menjadi tumbalnya.
Ironisnya lagi, Inflasi pangan dan energi juga tidak kalah menghantui kehidupan masyarakat. Tidak heran rakyat pun semakin terpojok dan tercekik disebabkan mahalnya biaya hidup. Akibatnya, keamanan finansial dan pekerjaan juga terancam krisis atas keserakahan ini. Sedangkan pada faktanya, kapitalis hanya mampu memberikan solusi tambal sulam, tanpa adanya bukti nyata dan tuntas dalam menangani setiap permasalahan yang ada.
Berbeda dalam sistem Islam, sudah jelas aturan dan hukumnya dari Allah Swt dan Rasul-nya, sehingga mustahil menyalahi fitrah manusia. Islam mengatur sistem ketenagakerjaan yang sempurna dalam mensejahterakan rakyatnya. Islam mewujudkan keberlangsungan sistem kehidupan yang mengurusi urusan umat. Islam juga bertanggung jawab atas semua biaya kebutuhan publik, sehingga rakyat tidak lagi depresi memikirkan inflasi. Dengan demikian keamanan finansial dan pekerjaan bukan lagi sesuatu yang patut dipusingkan.
Demikianlah potret kapitalisme yang tamak dan serakah. Mereka menggunakan segala cara untuk menjajah semua celah potensi ekonomi. Krisis dan kesenjangan ekonomi yang ada saat ini pun akibat keserakahan mereka, bahkan rela menghalalkan segala cara untuk meraih pundi-pundi harta. Ideologi buatan manusia, kapitalisme benar-benar minus faktor fitrah kemanusiaan. Pantaskah untuk terus dibela?
Wallahu a'lam bishawab
Editor :Esti Maulenni