Indonesia Peringkat Kedua TBC di Dunia, Cerminan Buruk Pengurusan Negara

Penyebab TBC adalah bakteri Mycobacterium Tuberculosis, penyakit ini menyerang paru-paru dan dapat mempengaruhi organ tubuh lain.
TBC merupakan salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian di dunia. Penyebab TBC adalah bakteri Mycobacterium Tuberculosis, penyakit ini menyerang paru-paru dan dapat mempengaruhi organ tubuh lain.
Sebenarnya kasus TBC sudah lama terjadi di Indonesia, hanya saja dari tahun ke tahun peningkatan penderita penyakit TBC malah semakin bertambah. Tentu saja ini bukanlah sebuah prestasi melainkan suatu hal yang patut dipertanyakan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merilis data bahwa Indonesia menempati peringkat kedua di dunia dengan jumlah kasus penyakit tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, dr Imran Pambudi pada konferensi pers daring, “Hari Tuberkulosis Sedunia 2023" yang mengangkat tema: Ayo Bersama Akhiri TBC, Indonesia Bisa”, pada Jumat (17/3/2023).
Imran menyebutkan laporan tersebut berdasarkan data Global TB Report (GTR) tahun 2022 dengan perkiraan kasus TBC sebanyak 969.000 dengan incidence rate atau temuan kasus sebanyak 354 per 100.000 penduduk.
"Gambaran besar tuberkulosis (TBC) di dunia dan Indonesia menempati kedua negara dengan beban TBC terbanyak di dunia dengan estimasi 969.000 kasus dan incidence rate 354/100.000 penduduk,” kata Imran.
Imran menuturkan berdasarkan Global TB Report 2022 secara global jumlah TBC terbanyak yaitu usia produktif terutama pada usia 25-34 tahun. Sementara di Indonesia, jumlah kasus TBC produktif terutama pada usia 45-54 tahun.
Selanjutnya, Imran juga menyebutkan kasus TBC di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Tercatat, pada tahun 2021, kasus TBC ada 443.235 dan meningkat menjadi 717.941 pada tahun 2022. Lalu data sementara untuk 2023 ada 118.438 kasus.
Khusus untuk TBC anak juga mengalami peningkatan signifikan, yakni dari 42.187 kasus pada tahun 2021 meningkat menjadi 100.726 kasus pada tahun 2022 dan 18.144 kasus pada tahun 2023. Jakarta, Beritasatu.com
Ada banyak faktor yang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit TBC, sehingga kasus TBC di Indonesia menempati peringkat kedua di dunia.
Imran juga mengatakan kasus TBC di Indonesia paling banyak disumbangi oleh mereka yang bekerja di antaranya buruh, nelayan, wiraswasta, pegawai BUMN, dan PNS. Adapun perincianya meliputi; buruh sebanyak 54.887 kasus, petani atau peternak atau nelayan sebanyak 51.941 kasus, wiraswasta 44.299 kasus, pegawai swasta atau BUMN atau BUMD sebanyak 37.235 kasus dan PNS yaitu 4.778 kasus.
Secara global, Indonesia merupakan salah satu negara dengan penderita tuberkulosis (TBC) terbanyak. Kondisi ini mencermikan banyak hal. mulai dari buruknya upaya pencegahan, tentu saja hal ini berkaitan dengan banyak faktor, diantaranya:
Faktor lingkungan dengan buruknya higiene sanitasi, orang yang tinggal di permukiman padat dan kumuh. Akan mengakibatkan sanitasi udara menjadi tidak baik dan juga sanitasi air yang tercemar. Bisa juga orang yang bekerja di lingkungan yang beresiko tinggi seperti panti jompo atau tempat penampungan tunawisma.
Latar belakang sosial ekonomi pun menjadi faktor pendukung terjadinya kasus tuberkulosis. Biasanya orang dengan sosial ekonomi menengah ke atas sistem kekebalan tubuhnya lebih baik dari orang yang sosial ekonominya menengah kebawah atau miskin, hal ini dikarenakan asupan makanan bergizi dan berprotein yang dikonsumsi kurang. TBC rentan menyerang orang yang daya tahan tubuhnya lemah.
Faktor pendukung lainnya adalah sarana kesehatan yang sulit dijangkau oleh masyarakat ekonomi lemah atau miskin, sehingga kegagalan dalam pengobatan menjadi pendukung penyebaran penyakit TBC secara signifikan. Karena orang yang berstatus terjangkit gejala tuberkulosis (TBC) saja membutuhkan 6 bulan untuk terapi.
Faktor Rendahnya pengetahuan mengenai bahaya penyakit tuberkulosis (TBC) hingga lemahnya sistem pendidikan dan kesehatan juga memicu bertambahnya penderita penyakit tuberkulosis (TBC).
Selain dari beberapa faktor tadi, di sisi lain menunjukkan fakta lemahnya berbagai upaya yang dilakukan meski sudah menggandeng ormas, dan kerja sama dengan LN bahkan WHO.
Tentu saja hal ini menunjukkan lemah dan jahatnya sistem sekuler kapitalis yang menjadi asas pengaturan urusan saat ini. Yang bahkan menjadikan orang sakit sebagai komoditas dan dikapitalisasi.
Islam memiliki solusi dari setiap permasalah yang ada. Islam menetapkan negara adalah pengurus rakyat, termasuk dalam penanggulangan penyakit menular seperti tuberkulosis (TBC) ini. Negara berkewajiban melaksanakan berbagai upaya dan langkah yang komprehensif untuk menanggulangi akar masalah secara tuntas, melalui sistem kesehatan yang handal yang ditopang oleh sistem politik dan ekonomi berdasarkan Islam.
Bila sistem perekonomian islam diterapkan, maka sandang pangan papan bagi seluruh rakyat akan terpenuhi secara merata. Karena negara hanya sebagai pengelola dan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyatnya.
Disaat kebutuhan rakyat tercukupi dari sandang pangan dan papannya maka lingkungan higiene sanitasi akan terwujud.
Bila sistem kesehatan dan sistem pendidikan juga berbasis sistem islam maka sarana kesehatan dan juga sarana pendidikan yang dikelola oleh negara akan sepenuhnya untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali dan tidak terhalang oleh biaya, karena negara hanya sebagai pengelola yang sepenuhnya untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Maka saat ditemukan suatu masalah penyakit akan segera dituntaskan dengan penanganan dan pencegahan yang cepat, tanpa harus pilih-pilih.
Tentu saja sistem islam hanya bisa diterapkan dengan syariat islam kaffah dalam naungan Daulah Khilafah.
Wallahualam bishawab
Editor :Esti Maulenni