Rezim Gagal Dalam Penanganan Pertanian

Alih fungsi lahan pertanian juga menyebabkan menurunnya produktivitas lahan pertanian. Hal ini terbukti pada triwulan II 2017, laju pertumbuhan sektor pertanian turun menjadi 3,33%.
“Rendahnya pertumbuhan sektor pertanian tersebut membuat kesejahteraan petani terus mengalami penurunan yang dicerminkan dari Nilai Tukar Petani (NTP) dan upah riil buruh tani dalam tiga tahun terakhir,” ujar pengamat ekonomi, Bima Yudhistira.
Ada beberapa hal yang disebabkan alih fungsi lahan. Pertama, berkurangnya lahan pertanian. Hal ini jelas berdampak langsung pada hasil pangan nasional terutama buruh tani. Buruh tani adalah orang-orang yang tidak memiliki lahan pertanian, namun mereka menawarkan tenaga untuk mengolah lahan milik orang lain. Sehingga, bila lahan pertanian banyak beralih fungsi dan menjadi makin sedikit, tentu saja mengancam mereka untuk kehilangan mata pencaharian.
Kedua, mengancam keseimbangan ekonomi. Sawah dan berbagai lahan pertanian lainnya merupakan ekosistem alami bagi beraneka ragam populasi. Sehingga, jika lahan-lahan tersebut beralih fungsi, binatang-binatang di dalamnya akan kehilangan tempat tinggal dan dapat mengganggu permukiman warga. Lahan pertanian juga merupakan tadah hujan yang baik, sehingga mengurangi risiko banjir saat musim hujan.
Ketiga, menurunnya produksi pangan nasional. Sebagai negara agraria, Indonesia memiliki begitu banyak lahan pertanian atau perkebunan. Dengan adanya alih fungsi lahan yang salah, berakibat menurunnya luas lahan pertanian. Alhasil, produksi beras sebagai bahan pangan terganggu. Begitu juga dalam skala besar, stabilitas pangan nasional akan sulit tercapai.
Keempat, harga pangan semakin mahal. Dengan menurunnya lahan pertanian, maka menurun pula hasil produksi tani dan perkebunan. Hal ini akan menyebabkan harga bahan-bahan pangan di pasaran semakin melonjak. Belum lagi usaha swasembada pangan yang kemudian gagal terealisasi. Alih-alih mengekspor beras, malah negara yang dijuluki negeri agraria ini justru mengimpor beras.
Kelima, tingginya angka urbanisasi. Sebagian pemukiman di pedesaan dekat dengan lahan pertanian. Ketika lahan pertanian mereka dialihfungsikan, secara otomatis mematikan lapangan pekerjaan petani. Hal inilah yang menyebabkan angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari pedesaan akan berbondong-bondong memadati kota dengan harapan kembali mendapat pekerjaan yang lebih layak. Padahal bisa jadi, mereka tidak berubah signifikan setelah di kota dikarenakan persaingan dengan para pemilik modal yang lebih kuat.
Secara jelas aturan tentang alih fungsi lahan sudah tertuang dalam pasal 44, UU 41 tahun 2009 mengamanatkan, bahwa alih fungsi itu boleh dengan syarat adanya kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi lahan, adanya pembebasan kepada pemilik lahan, dan tersedianya lahan pengganti. Sementara, banyak alih fungsi lahan pertanian yang tidak boleh dialihfungsikan, sebagaimana amanat Keputusan Presiden Nomor 33 tahun 1990, bahwa pemberian izin lokasi dan izin pembebasan tanah bagi setiap perusahaan dilakukan dengan ketentuan tidak mengurangi areal tanah pertanian.
Namun, pada praktiknya masih banyak yang salah dalam memfungsikan lahan kosong, bahkan justru mengambil alih fungsi lahan. Hutan lindung dijadikan lahan produktif, pantai direklamasi menjadi bangunan menjulang di atasnya, lahan retensi dan pertanian dijadikan perumahan dan permukiman, rusaknya DAS (Daerah Aliran Sungai), kawasan pendidikan dijadikan kawasan bisnis kaum kapitalis, kawasan pariwisata di jadikan kawasan maksiat, dan masih banyak lagi penyalahgunaan fungsi lahan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, baik untuk pribadi, perusahaan, maupun instansi pemerintahan.
Read more info "Rezim Gagal Dalam Penanganan Pertanian" on the next page :
Editor :Esti Maulenni