Gas Elpiji 3 Kilogram Kembali Langka, Nasib Rakyat Semakin Terabaikan

Penulis: Leihana
Tidak ada rotan akar pun jadi, peribahasa itu sangat tepat jika dikiaskan untuk satu kondisi darurat di mana sebuah kebutuhan pokok yang masih bisa digantikan dengan sesuatu komoditi yang lain. Namun, apa jadinya jika pada zaman modern ini, masyarakat sudah bergantung dengan teknologi justru teknologi tersebut semakin sulit untuk digapai.
Salah satunya untuk memenuhi kebutuhan pokok yaitu pangan, masyarakat Indonesia bergantung dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar untuk memasak dari gas LPG.
Pada zaman Soeharto masyarakat Indonesia bergantung kepada minyak tanah yang selanjutnya diubah secara massal oleh pemerintah dengan komoditi gas LPG.
Masyarakat pun kembali menyesuaikan diri dengan kompor gas dan tabung gas LPG yang konon disubsidi oleh pemerintah untuk rakyat tidak mampu.
Meskipun sebenarnya harga minyak tanah dengan gas LPG jauh lebih mahal gas LPG bagi masyarakat, tetapi karena kebutuhan pangan adalah kebutuhan pokok, masyarakat pun berupaya sebisa mungkin untuk mampu membelinya.
Namun, dalam kondisi saat ini yang sedang krisis, selain harga yang terus meningkat komoditi gas LPG bersubsidi 3 kilo itu juga langka. Tentu saja kelangkaan itu membuat harga di pasaran menjadi naik, lagi-lagi rakyat miskinlah yang semakin tercekik. Upaya yang dilakukan pemerintah salah satunya oleh Pertamina dengan cara melakukan operasi pasar untuk mengamankan stok agar tidak terjadi kelangkaan barang di pasaran.
Seperti yang diungkapkan oleh Nicke Widyawati direktur utama PT Pertamina persero bahwa salah satu upaya pertahanan untuk menjaga stok gas LPG dan mencegah kelangkaan barang tersebut adalah dengan melakukan operasi pasar ( tirto.id, 25/7/ 2023)
Adapun alasan mengapa gas LPG mengalami kelangkaan masih menurut direktur utama PT Pertamina Persero Nicke Widyawati bahwa hal itu disebabkan oleh peningkatan konsumsi gas LPG 3KG hingga dua persen selama libur panjang sekolah.
Lain itu Nike juga mengungkapkan bahwa masih mungkin terjadi salah penyaluran gas LPG 3 kilo bersubsidi kepada golongan yang bukan seharusnya menerima subsidi.
Sehingga ketika masyarakat yang seharusnya membutuhkan subsidi gas LPG justru tidak mendapatkannya. (Cnnindonesia.com, 25/7/ 2023)
Adapun solusi lain yang ditawarkan oleh Pertamina justru Pertamina menyarankan kepada konsumen untuk membeli gas LPG bright gas 3 kg yang tidak bersubsidi seharga 56.000 dengan stok yang aman. Sebelumnya LPG jenis bright gas ini hanya terdapat ukuran 5,5 kg dan 12 kg, tetapi saat ini sudah tersedia stok jenis bright gas LPG 3 kg tabung yang berwarna pink bertuliskan gas non subsidi. ( Kompas.tv, 26 juli 2023)
Padahal seperti yang kita ketahui gas LPG 3 kg adalah gas bersubsidi dengan harga eceran tertinggi ( HET) yang telah ditetapkan pemerintah senilai Rp19.000 untuk isi ulang tabung 3 kg.
Akan tetapi, karena kelangkaan terjadi di beberapa daerah bahkan ada yang menjual harga gas LPG isi ulang hingga Rp26.000.
Dengan kondisi ini tentu rakyat kecil yang semakin tercekik karena harga barang yang sudah disubsidi dengan anggaran yang berasal dari pajak rakyat ini justru harus dibeli oleh rakyat dengan harga yang tinggi.
Hal yang sangat aneh justru solusi yang ditawarkan pemerintah selain operasi pasar adalah justru memproduksi gas 3 kg dengan harga nonsubsidi.
Memang pada akhirnya masyarakat jika kesulitan untuk menemukan barang yang sangat dibutuhkan akan membeli barang tersebut meskipun harganya sangat tinggi.
Akan tetapi, pada akhirnya gas nonsubsidi ini justru semakin memberatkan rakyat.
Permasalahan kelangkaan barang dan harga jual gas bersubsidi di atas HET ini disebabkan oleh sistem kapitalisme sendiri. Di mana dalam sistem kapitalisme tidak ada aturan yang tegas dan jelas dalam kepemilikan barang milik umat individu dan negara.
Sumber daya alam seperti halnya gas merupakan milik umat yang bersirkah di dalamnya dan tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang saja dan hanya boleh dikelola oleh negara sebagai wakil rakyat.
Namun, justru di Indonesia yang mengadopsi sistem kapitalisme, sumber daya alam gas ini bisa diprivatisasi sebagai perusahaan BUMN dan dikelola oleh swasta baik asing ataupun lokal.
Padahal Indonesia memiliki sumber daya alam gas yang tinggi yaitu di Aceh merupakan SDA gas terbesar kedua di dunia.
Bagai anak ayam mati di lumbung padi masyarakat Indonesia harus menelan pil pahit kesulitan mencari bahan bakar gas dan membelinya dengan harga tinggi padahal memiliki SDA gas tertinggi di dunia kedua.
Untuk bisa menjangkau harga gas yang sesuai dengan kemampuan rakyat dan terpenuhi stoknya tidak ada jalan lain solusinya adalah menerapkan sistem syariat Islam secara kafah.
Di mana dalam ajaran islam diatur dalam sistem ekonomi pengaturan SDA yang hanya boleh dikelola oleh negara dan digunakan hasilnya untuk seluruhnya kepentingan rakyat, juga mengatur perihal distribusi yang harus merata baik itu diberikan kepada rakyat miskin maupun menengah ke atas, sedangkan konsumsi tentu itu kembali diserahkan–di dalam Islam pun–kepada pilihan individu tidak diatur oleh negara harus membeli dengan HET.
Karena mekanisme pasar yang sah dalam Islam bukanlah berdasarkan penawaran dan permintaan, tetapi berdasarkan keridaan dari penjual dan pembeli.
Sehingga harga pasar akan terbentuk secara alami tanpa intervensi dari negara ataupun pihak asing.
Sehingga tidak perlu dibedakan antara harga subsidi dan nonsubsidi.
Karena dalam ajaran Islam negara memiliki kewajiban untuk memenuhi seluruh kebutuhan pokok seluruh rakyatnya.Tidak memandang status sosialnya miskin atau kaya muslim atau nonmuslim jika ia warga negara Islam yang tunduk dengan aturan Islam maka ia berhak untuk mendapatkan haknya dengan dipenuhi seluruh kebutuhannya tanpa kecuali.
Termasuk kebutuhan terhadap bahan bakar gas dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok yaitu pangan untuk memasak.
Hal yang ada di dalam sistem Islam kapan seorang pemimpin yang peduli terhadap perut rakyatnya apakah kelaparan ataupun bisa tidur dalam keadaan kenyang. Sebagaimana Umar bin Khattab yang menjabat sebagai khalifah atau penguasa kekhilafahan di jazirah Arab kala itu memastikan rakyatnya apakah tidak ada yang kelaparan dengan melakukan monitoring sendiri di waktu malam dari pintu ke pintu untuk menanyakan apakah ada rakyatnya yang kelaparan.
Dengan tangannya sendiri Umar bin Khattab memikul bahan pokok seperti gandum dan memakannya bagi seratnya yang kelaparan.
Dan setelah masa kekhilafahan Umar bin Khattab ada pula kehilafahan Umar bin Abdul Aziz yang pada masanya tidak ada rakyat miskin satu pun karena tidak ada satu orang pun dari rakyatnya yang berhak menerima zakat
Profil para pemimpin yang peduli atas pemenuhan kebutuhan rakyat ini tercipta dalam sistem Islam karena dorongan dari perintah Allah seperti yang disebutkan di dalam hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. "Imam adalah Ra'in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari)
Untuk itu dalam rangka menyelesaikan permasalahan kebutuhan pokok rakyat seperti gas LPG ini tidak ada jalan lain adalah dengan berusaha menerapkan kembali syariat Islam secara kafah.
Wallahualam bissawab.
Penulis: Leihana (Ibu Pemerhati Umat)
Editor :Esti Maulenni