Menyelami Peradilan Dalam Islam

SIGAPNEWS.CO.ID - Keadilan adalah suatu kebutuhan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap individu. Tak jarang hidup bermasyarakat sering menimbulkan perselisihan dan persengketaan dalam setiap interaksinya. Baik dalam masalah muamalah hingga penghilangan nyawa atau pembunuhan. Dalam hal ini, setiap individu akan menuntut haknya untuk diberikan keadilan. Namun sayangnya, di negeri ini keadilan adalah sesuatu yang mahal.
Bagaimana tidak, negara saja menggelontorkan dana yang tak sedikit untuk menyewa pengacara bagi warga miskin ketika tersandung kasus. Atas nama Hak Asasi Manusia, BPHN atau Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham telah mengucurkan 56 miliar rupiah sebagai bantuan bagi rakyat miskin yang beperkara di pengadilan. (news.detik.com, 12/3/2023)
Hal ini menegaskan, bahwa andai negara tidak menggelontorkan dana, otomatis rakyat miskin yang beperkara di meja hijau tidak akan mendapat bantuan hukum. Yang artinya, posisi mereka sangat rentan untuk didakwa bersalah.
Suap Menyuap
Dalam sistem demokrasi, sudah menjadi rahasia umum jika ingin keadilan, maka biaya mahal yang harus dikeluarkan. Terkadang suap menyuap menjadi pilihan bagi yang bermodal. Hal ini menambah fakta bahwa hukum bisa dibeli dengan mudah. Dari kasus Jaksa Pinangki, yang terseret kasus korupsi dan suap Djoko Tjandra, yang kini telah bebas bersyarat sejak September 2022 (nasional.tempo.co), hingga kasus suap Hakim Gazalba senilai 2,2 miliar rupiah juga menghiasi peradilan di Indonesia. Tentu kasus seperti ini bagaikan kasus gunung es. Yang terekspos hanyalah sejumlah kecil dari yang tersembunyi.
Lantas bagaimana kondisi rakyat biasa yang beperkara? Selain dari administrasi yang sulit, hingga biaya yang mencekik terkadang mereka juga tak dapat keadilan. Apalagi ketika lawannya adalah yang mampu membeli hukum, atau orang yang berpangkat. Ambil saja kasus yang belum lama ini viral, seorang purnawirawan polisi menabrak Mahasiswa UI hingga tewas, namun yang menjadi tersangka malah si korban tewas. Sungguh nalar hukum saat ini perlu dipertanyakan.
Peradilan dalam Islam
Islam sebagai ideologi, memiliki berbagai aturan dalam setiap aspek kehidupan. Tak terkecuali aspek hukum. Peradilan dalam Islam tak serumit dan berputar pada birokrasi dan administrasi yang mencekik, berbiaya murah bahkan bisa jadi tanpa biaya. Mengapa demikian?
Lembaga peradilan merupakan lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Fungsi dari lembaga ini adalah untuk menyelesaikan perselisihan di antara masyarakat, melindungi hak-hak umum, dan menyelesaikan sengketa antara rakyat dan pejabat.
Adil merupakan akhlak yang harus tetap melekat pada setiap muslim. Terlebih seorang khalifah haruslah memiliki sifat adil pada setiap individu rakyatnya. Pun, dalam peradilan, keadilan harus disandarkan pada hukum syarak. Dalam Khilafah, peradilan dibagi menjadi 3 macam:
1. Qadli Al-Muhtasib
Adalah qadli atau hakim yang menangani pelanggaran hak-hak jemaah di lingkungan publik, seperti: Pedagang di pasar yang berlaku curang dengan mengurangi takaran pada timbangannya, alhasil perbuatan tersebut akan melanggar hak jemaah/pembelinya. Di sinilah tugas qadli hisbah berlangsung. Ia akan menegur dan mengadili pedagang curang di tempat, tanpa perlu menyeretnya ke ruang pengadilan dengan berbagai administrasi menyulitkan.
Hal ini pernah dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. ketika beliau sedang berjalan di pasar, beliau menemukan makanan basah dalam seonggok makanan. Kemudian beliau memerintahkan untuk menaruh makanan yang basah di atas agar pembeli mengetahui jika ada makanan yang basah. Hal ini agar tidak terjadi penipuan, dan jual beli berlangsung dengan saling rida.
Qadli hisab tak memerlukan ruang pengadilan untuk menyelesaikan masalah, ia berhak memutuskan perkara di mana pun dan kapan pun. Sebab, perkara yang ditangani qadli hisab tidak ada penuntut maupun yang dituntut. Yang terjadi adalah adanya pelanggaran hak-hak umum atau penyimpangan hukum syariat di tengah masyarakat.
2. Qadli Mazhalim
Adalah qadli yang diangkat untuk menyelesaikan perkara yang terjadi antara penguasa (khalifah dan pejabatnya) dan rakyat biasa. Dalam kasus yang menyeret pejabat, qadli Mazalim akan berlaku adil tanpa memandang jabatan.
Kasus seperti ini pun pernah terjadi pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ketika beliau kehilangan baju besinya. Sedangkan seorang Yahudi memiliki baju besi yang sama. Namun, disebabkan bukti dan saksi yang kurang, hakim pun memenangkan orang Yahudi tersebut.
3. Qadli Khusumat
Qadli Khusumat adalah qadli yang mengurusi sengketa yang terjadi antara rakyat dengan rakyat. Tak dimungkiri, hidup bermasyarakat pasti akan timbul perselisihan atau persengketaan. Dalam hal ini, kedua pihak yang bersengketa akan didudukkan dan didengarkan keluhan masing-masing oleh hakim. Setelah itu, hakim akan memutuskan perkara tersebut dengan syariat Islam tanpa bertele-tele atau bersidang-sidang.
Dalam peradilan Islam, tidak dikenal adanya istilah naik banding ketika salah satu pihak tidak puas dengan hasil yang ditentukan oleh hakim. Sebab, peradilan yang telah dilakukan baik pada qadli hisbah, mazhalim, maupun khusumat adalah ketetapan yang diambil dari hukum syarak.
Semua proses peradilan di atas dilakukan secara praktis, dalam artian akan diselesaikan pada saat terjadi aduan, tanpa adanya proses administrasi yang berbelit-belit dan mahal. Hal ini berbeda dengan sistem peradilan hari ini yang membutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan dalam menyelesaikan satu kasus. Apalagi, adanya aturan yang mengharuskan adanya pengacara dan lain sebagainya, tentu akan sangat menyulitkan bagi kaum papa yang hendak menuntut keadilan.
Inilah perbedaan antara peradilan dalam Islam dengan peradilan saat ini. Allahu a'lam bish-showwab.
Nurin Fiddarin - Aktivis Muslimah Gempol
Editor :Esti Maulenni