Pinjol Kian Merajalela, Dimana Peran Negara?

Foto: ilustrasi.net
Ribuan bahkan jutaan warga provinsi Banten, banyak yang berhutang pada perusahaan teknologi finansial (Tekfin), atau yang lebih dikenal dengan pinjol (Pinjaman Online).
Menurut data per Mei 2023 OJK (Otoritas Jasa Keuangan), sebanyak 1,48 juta warga Banten memiliki utang pinjol mencapai Rp.4,51 triliun.
Utang tersebut berada di posisi keempat tertinggi setelah Jawa Barat, Jakarta, dan Jawa Timur (Kompas.com,5/7/2023).
Bahkan Gubernur Banten Al Muktabar menanggapi fakta tersebut bahwa, pinjaman melalui pinjol bak pisau bermata dua. Bisa bernilai positif dan negatif, jika dimanfaatkan dengan bijaksana.
Selain digandrungi semua kalangan masyarakat. Pinjol hari ini sebagai salah satu alternatif tercepat, saat membutuhkan dana. Yang mana prosesnya mudah, cepat tanpa banyak persyaratan. Alhasil tidak sedikit dari masyarakat, memilih berhutang melalui jasa pinjol. Lalu mengapa praktik pinjol kian hari semakin merajalela? Di manakah peranan negara?
Sungguh miris, Indonesia yang notabene negara dengan kekayaan alamnya berlimpah ruah. Namun di sisi lain, rakyatnya makin sengsara, hingga harus berhutang kepada pinjol. Inilah potret buram abainya negara dalam menangani ketimpangan ekonomi yang terjadi saat ini, rakyat dibiarkan berjuang sendiri demi memenuhi kebutuhannya. Baik karena tekanan ekonomi, seperti dalam hal pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, serta papannya. Bahkan ada pula untuk membiayai gaya hidupnya (hedon), seperti pembelian tiket konser, beli barang branded, dan lainnya.
Trend tingginya transaksi pinjol yang menggurita hari ini, tak lepas dari peranan para kapitalis sebagai proyek peluang bisnis. Mereka dengan sigap, membaca situasi dan kondisi masyarakat saat ini, demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Berbagai dalih, pemerintah menilai semakin maraknya pinjol saat ini, dikarenakan banyak jasa pinjol ilegal. Oleh sebab itu, pemerintah hadir dengan memberikan beragam bantuan pinjol legal. Seolah sebuah solusi tepat atas problematika masyarakat hari ini.
Namun masalah yang meresahkan masyarakat, bukanlah disebabkan pinjol legal maupun ilegalnya. Justru praktik pinjol yang saat ini terjadi, banyak mengandung unsur ribanya. Seperti biaya bunga tinggi, yang berdampak menyengsarakan rakyat. Bahkan tidak sedikit masyarakat tak mampu membayar utangnya, sehingga gali lubang tutup lubang. Mereka berputus asa, hingga banyak yang memilih bunuh diri.
Sistem ekonomi kapitalisme yang saat ini bercokol, telah melahirkan kemiskinan struktural. Sehingga banyak masyarakat terdesak kebutuhan. Di lain sisi, promosi dan produksi sangat masif tanpa batas. Sistem ini telah menjadikan masyarakat bergaya hidup konsumtif, bahkan tak memandang halal dan haramnya.
Sangat berbeda dalam sistem Islam. Dalam Islam pemimpin merupakan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dengan didasari keimanan dan ketakwaan, negara berkewajiban memperhatikan, setiap muamalah warganya harus sesuai hukum syara.
Islam melarang praktik ekonomi yang bertentangan dengan syariat. Salah satunya pinjaman yang mengandung unsur ribawi, termasuk pinjol di dalamnya. Riba hukumnya haram mutlak, keharamannya tercantum dalam nash Al-qur'an dan As-sunnah. Allah Swt berfirman dalam QS Al-Baqarah: 275, yang artinya "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Oleh karena itu, dalam memberantas muamalah ribawi tidak cukup sebatas dari individu semata. Melainkan harus ada peranan penting negara, sebab praktik pinjol yang terjadi di negeri ini merupakan problem sistemik telah berhasil menjerat banyak korban. Maka dari itu, Islam memiliki beberapa mekanisme dalam mengatasinya, antara lain:
1. Negara melarang praktik pinjol beroperasi dengan alasan apapun. Namun berbeda pada fakta hari ini, negara justru memfasilitasi jasa pinjol, bahkan mendapatkan status hukum (legal).
2. Negara akan memberikan sanksi yang menjerakan, berupa takzir kepada pelaku riba. Baik peminjam, yang meminjamkan, pencatat transaksi, maupun saksi. Rasulullah Saw bersabda: "Allah melaknat pemakan, penyetor, pencatat transaksi, dan dua saksi riba. Beliau berkata, "Semuanya sama dalam dosa." (HR Muslim, no 1598).
3. Kemudian negara berkewajiban memberikan rasa nyaman dan aman, bagi setiap rakyatnya. Termasuk terpenuhi seluruh kebutuhan pokoknya. Seperti membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi para suami, untuk membiayai keperluan keluarga. Kemudian menyediakan berbagai fasilitas untuk kemaslahatan umat. Mulai dari bidang kesehatan, pendidikan, hingga kebutuhan sandang, pangan dan papannya. Seluruhnya dibiayai dari pos Baitul mal.
Dengan demikian, hanya sistem Islam selama kurun waktu 1400 tahun, terbukti mampu mencukupi kebutuhan rakyatnya secara komprehensif, tanpa membedakan strata sosial dan jabatan. Sehingga tidak akan didapati rakyat yang hidupnya kekurangan, seperti kemiskinan, stunting (gizi buruk), bahkan terjerumus ke dalam jerat ekonomi ribawi.
Wallahu'alam bishawab.
Editor :Esti Maulenni