Melonjaknya Biaya Haji, Dampak Komersialisasi Ibadah?

SIGAPNEWS.CO.ID - Selain merupakan rukun Islam yang kelima, ibadah haji telah disyariatkan sebagai fardhu ain bagi kaum muslim yang berkemampuan dan memenuhi syarat. Allah Swt berfirman dalam QS Ali Imran ayat 97, yang artinya: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah."
Bersatunya kaum muslimin di seluruh dunia ketika wukuf di Arafah, untuk mengumandangkan seruan yang sama, yakni lantunan talbiyah, tahlil, tahmid, takbir, dzikir dan do'a.
Berkumpulnya mereka hanya dapat disatukan dengan akidah, Al Qur'an, serta kiblat yang sama, tanpa membedakan kelas dan kedudukan.
Namun miris, penguasa saat ini, salah memaknai makna ibadah haji yang sesungguhnya. Pemerintah menilai hanya pada sisi materi semata, setiap kebijakan memandang, bahwa semakin banyak jamaah, maka keuntungan yang didapat pun semakin besar.
Beberapa waktu lalu, dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR, pada Kamis 19 Januari 2023. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan Ongkos Naik Haji (ONH) tahun 2023, atau dikenal dengan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BIPIH) 2023, ditetapkan sebesar Rp69 juta.
BIPIH merupakan biaya yang harus dibayarkan oleh jemaah haji, sekaligus biaya keseluruhan penyelenggaraan haji pada tahun tersebut.
Padahal, BIPIH 2022 ditetapkan bagi setiap jemaah di angka Rp39,8 juta. Artinya, jemaah haji Indonesia ke depan harus membayar 73 persen lebih mahal, dibandingkan jemaah yang berangkat ke tanah haram pada tahun-tahun sebelumnya, berkisar Rp35 juta (Bisnis.tempo 21/1/2023).
Kenaikan biaya ibadah haji yang kian melangit, tentu menimbulkan beragam pro dan kontra. Sebagian menilai wajar seiring meningkatnya pelayanan dan komersialisasi haji oleh pemerintah Arab Saudi. Namun, tidak sedikit pula yang sebaliknya. Banyak pihak bersuara menyarankan berbagai pendapat terkait pengelolaannya.
Dalam sistem kapitalisme, apapun yang bernilai manfaat, dan menghasilkan keuntungan pemerintah dengan sigap mengelolanya. Begitulah ketika sistem yang diterapkan bukan berasal dari Sang Maha menciptakan manusia.
Sehingga berbuah ketamakan segelintir orang, membuat masyarakat yang ingin beribadah haji pun, turut dimanfaatkan tidak peduli halal dan haram, demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Masalah mendasar dalam pengelolaan dana hingga penyelenggaraan haji saat ini, terletak pada manfaat komersialisasi, yang hadir di tengah tingginya keinginan umat Islam untuk berhaji. Sebagai rukun Islam, kaum muslim tentu berupaya semaksimal mungkin untuk menjalankannya. Dengan demikian, semestinya tidak boleh ada yang memanfaatkan sebagai ladang bisnis dalam penyelenggaraan haji oleh pihak mana pun.
Ironis, dalam sistem kapitalisme, semua yang bisa bernilai menguntungkan merupakan peluang bisnis menggiurkan, termasuk penyelenggaraan ibadah haji. Tidak peduli dengan kondisi umat, yang telah mengazamkan niatnya untuk mengunjungi tanah suci.
Read more info "Melonjaknya Biaya Haji, Dampak Komersialisasi Ibadah?" on the next page :
Editor :Esti Maulenni