Melonjaknya Biaya Haji, Dampak Komersialisasi Ibadah?

Pada akhirnya, prinsip-prinsip pengelolaan dana haji kental dengan spirit kapitalistik. Bagi kaum kapitalis, mustahil dana sebesar itu akan dibiarkan menganggur. Mereka langsung mengelolanya, dengan dalih untuk investasi.
Terlebih lagi, wewenang Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang tertuang dalam UU nomor 34 tahun 2014 menetapkan, bahwa dalam pengelolaan keuangan haji, BPKH tidak hanya mengelola penerimaan dana haji, melainkan juga pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawabannya. Dampaknya adalah hitung-hitungan untung-rugi dalam pengelolaan dana. Alhasil, melonjaknya biaya haji, bukan semata karena kurs Rupiah, melainkan juga konsekuensinya.
Maka dari itu, di tengah kesulitan ekonomi, negara sudah seyogyanya memfasilitasi rakyatnya, agar lebih mudah dalam beribadah.
Dari sini tampak jelas, dengan menaikkan biaya, justru menimbulkan dugaan adanya komersialisasi ibadah? Di mana negara mencari keuntungan melalui dana haji dari jamaah.
Sangat Berbeda pengaturan ibadah haji dalam sistem Islam. Dalam Islam penguasa merupakan pengurus urusan umat. Sebab kelak akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Allah Swt, tentang kepemimpinannya. Maka
setiap kebijakan yang dibuat, senantiasa untuk mempermudah urusan rakyatnya, termasuk dalam hal ibadah haji.
Selain masalah hukum syarak yang terkait syarat, wajib, dan rukun haji, juga terdapat masalah hukum ijra’i yang terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah. Hanya saja, karena ibadah haji ini dilaksanakan pada waktu tertentu (Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijjah) dan tempat tertentu (Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah, termasuk Madinah), maka membutuhkan pengaturan yang baik dari negara.
Hukum ijra’i merupakan bentuk pengaturan, yang notabene derivasi dari hukum syarak, tentu tidak boleh menabrak hukum syarak itu sendiri. Contohnya, ditetapkannya syarat usia 18 tahun dalam UU 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, jelas menyalahi hukum syarak khususnya ketentuan tentang usia baligh. Ketentuan seperti ini tidak boleh ada, meski dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan. Selain itu, Islam juga menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan (manajerial), yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat), dan ditangani oleh orang yang profesional.
Adapun beberapa kebijakan, yang bisa ditempuh oleh daulah, sebagai sebuah negara penyelenggara ibadah haji diantaranya :
1). Daulah akan membentuk departemen khusus, untuk mengurus urusan ibadah haji dan umrah. Ini berlaku dari pusat sampai daerah yang tersentralisasi. Hal ini agar memudahkan calon haji dalam persiapan, bimbingan, pelaksanaan, sampai kepulangannya. Departemen ini akan bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan Departemen Perhubungan guna pelayanan terbaik bagi calon jemaah haji.
2). Jika daulah harus menetapkan ONH, besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan tanah suci (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci.
Read more info "Melonjaknya Biaya Haji, Dampak Komersialisasi Ibadah?" on the next page :
Editor :Esti Maulenni