Hari Buruh Momen Wujudkan Kesadaran Bobroknya Sistem Kapitalisme

SIGAPNEWS.CO.ID - Hari buruh menjadi sebuah rutinitas bagi kaum buruh untuk turun ke jalan memperjuangkan nasibnya. Melalui Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), mereka konsisten melakukan perlawanan terhadap penolakan UU Cipta Kerja.
Dalam Pandangan ASPEK Indonesia, belum ada kesungguhan dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam malaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (2). Dalam pasal tersebut setidaknya terdapat dua kewajiban Negara yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, yaitu memberikan pekerjaan dan memberikan penghidupan, yang keduanya harus layak bagi kemanusiaan.
Bukti yang ditunjukkan atas ketidakberpihakan pada kaum buruh adalah adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Hal ini dinilai merupakan akal-akalan dari Pemerintah dan DPR, untuk memberikan “karpet merah” dan kemudahan kepada kelompok pemodal dan investor.
Adapun dampak dari pengesahan RUU Cipta Kerja yang merugikan pekerja tampak beberapa waktu lalu di mana Perusahaan membagi THR untuk karyawan pada H-7 Hari Raya, sedangkan putus kontrak kerja pada H-30, pekerja kontrak (outsourching) tidak mendapatkan hak THR. Adapun masalah lain juga terjadi seperti upah murah, jam kerja yang panjang yakni 12 jam sehari tentu menjadi masalah pelik, khususnya bagi pekerja perempuan.
Kehidupan yang layak dan menyejahterakan pada sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Saat ini yang tampak adalah pekerja seolah-olah menjadi beban bukan mitra bersama antara pengusaha dan penguasa. Hal ini terlihat dari setiap RUU yang disahkan yang lebih berpihak pada kaum pemodal. Pengembangan usaha yang dilakukan berpedoman pada Prinsip mengeluarkan biaya sekecil- kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar- besarnya, tanpa memandang halal atau haram, adil atau zalim.
Permasalahan pelik kaum buruh yang tak kunjung usai dari tahun ke tahun ini hendaknya menyadarkan kita bahwa sumbernya adalah diterapkannya sistem kehidupan kapitalisme di negeri ini. Maka meninggalkan sistem kapitalisme merupakan satu-satunya solusinya, kemudian menggantinya dengan sistem kehidupan yang adil dan mampu menyejahterakan yaitu sistem Islam. Sistem Islam sebagai pemecah problematika umat bukan hanya mengatur ibadah mahdoh (salat, puasa, zakat, haji), namun juga mengatur tata cara pengupahan kepada buruh. Islam melarang pemilik modal menunda pemberian hak upah pekerja. Sebagaimana sabda Rasul saw., “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah)
Manusia sebagai sumber daya terpenting dalam menghasilkan sebuah produk harus diperhatikan kesejahteraannya. Dalam hal pengupahan harus sesuai akad yang telah disepakati antara pemilik modal dan pekerjanya, disesuai keahliannya, waktu bekerja, dan tempat bekerja. maka besarannya tidak dibatasi sebagai Upah Minimum Regional (UMR) seperti kapitalisme, yang mana di setiap daerah yang berbeda, maka berbeda pula besaran UMR. Alhasil, buruh tidak pernah mampu memenuhi dan menyeimbangkan antara penghasilan dan kebutuhan hidup mereka. Mereka bekerja hanya sekadar mampu untuk mempertahankan hidup. Wallahu'alam bi Showab
Adinda Khoirunnisa' - Aktivis Muslimah
Editor :Esti Maulenni