Coldplay, Hanya Kesenangan Bukan Kebutuhan

SIGAPNEWS.CO.ID - Di tengah kerasnya penolakan Persaudaraan Alumni 212 akan kedatangan grup band asal Inggris Coldplay di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada November 2023 mendatang, masyarakat masih saja antusias berburu tiket konser. Grup musik Coldplay direncanakan akan melakukan konser di Jakarta pada tanggal 15 November. Konser yang akan mereka lakukan November mendatang merupakan konser pertama kalinya di Indonesia. Coldplay merupakan band yang sangat populer dan sering dijuluki “The Most Successful Band Of The 21st Century”. Konser mereka kali ini bertajuk Music of The Spheres World Tour 2023 (KOMPAS.com, 12/05/2023).
Konser musik penyanyi asing mulai membanjiri Indonesia, para fans atau penggemar bersuka cita menyambut kedatangan mereka, harga tiket yang terkadang di luar nalar pun tak jadi soal demi sang idola yang selama ini hanya bertemu dalam hayal. Harga tiket konser Coldplay yang berkisar antara Rp 800.000 hingga Rp 11.000.000 tak membuat para penggemar mundur, mirisnya sebagian dari mereka bahkan rela mengeluarkan tabungan, menjual motor, bahkan kulkas demi membeli tiket konser. Pemberitaan tentang Band Coldplay yang mendukung LGBT pun tak jua menyurutkan niat penggemar.
Inilah potret generasi muda sekarang. Para penggemar garis keras memang memiliki rasa suka yang bisa membuat kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Rela mengarungi tiket war yang harganya selangit hanya demi beberapa jam have fun. Tidak mendapatkan apa-apa selain kebahagiaan yang fatamorgana. Kebahagiaan versi dunia yang sifatnya sementara dan kemudian dijadikan standar kebahagiaan oleh kalangan generasi muda. Sebuah kebahagiaan bila sosial medianya penuh dengan foto, video yang menunjukkan sesuatu yang sulit didapatkan dan tidak semua orang punya. Aroma flexing pun kerap menyebar tanpa sadar menimbulkan kecemburuan sosial dan menyebabkan jurang pemisah antara Si Punya dan Si Tak Punya semakin lebar. Mengaborsi empati terhadap keadaan bangsa ini.
Sangat disayangkan, ketika skala prioritas atas amal dalam kehidupan tak lagi menjadi pertimbangan. Memang sudah menjadi hak mereka untuk menonton konser tapi juga menjadi sesuatu yang amat menyedihkan jika standar kebahagiaan mereka hanya menonton pertunjukan tapi kemudian kembali lagi berkutat dengan aktivitas harian yang penuh dengan penderitaan.
Panitia dan promotor penyelenggara konser pun sepertinya tak gentar atas ancaman PA 212 yang akan memblokir lokasi dan mengepung bandara jika tetap mendatangkan Coldplay. Meski Wasekjen PA 212 telah mengemukakan alasannya menolak kedatangan Coldplay karena Chris Martin dan teman-temannya merupakan artis pendukung LGBT yang bertentangan dengan Islam dan juga Pancasila sebagai dasar bangsa, ditambah lagi dengan kondisi penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, Membiarkan Coldplay konser sama dengan mendukung mereka yang mengkampanyekan LGBT. Terkait hal ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif justru mempersilahkan pihak yang keberatan menempuh jalur hukum.
Kedatangan Coldplay yang diyakini akan membawa dampak bagi pergerakan ekonomi Indonesia berbanding terbalik dengan fakta yang ada. Di tengah persoalan ekonomi yang membelit negeri ini, harga barang kebutuhan yang berlomba-lomba naik, penyelenggaraan berbagai konser telah menunjukkan matinya empati penyelenggara dan pihak pemberi ijin terhadap penderitaan sesama yang ditimpa berbagai persoalan hidup. Di sisi lain, antusiasme masyarakat juga membuktikan tingginya kesenjangan kesejahteraan. Inilah sisi buruknya sistem demokrasi kapitalisme yang dianut negeri ini. menyelenggarakan konser meski bertentangan dengan nilai, budaya, bahkan agama, membuat masyarakat berlomba-lomba datang meski banyak yang dikorbankan, dan bagaimana dampak penyelenggaraan konser terhadap generasi tak akan menjadi pertimbangan selagi bisa menghasilkan cuan. Bergeraknya perekonomian dikarenakan adanya konser membuat wisatawan datang dan tingkat hunian hotel tumbuh secara signifikan, memang menguntungkan. Tapi siapa yang kembali diuntungkan dalam hal ini? tentu saja para pengusaha. Bagaimana dampaknya kepada masyarakat ? hanya sedikit yang bisa merasakan dampaknya.
Sungguh tak bijak rasanya bersenang-senang tatkala saudara kita yang lain tengah mengalami persoalan, fanatisme berlebihan dengan mengorbankan sesuatu demi sebuah kesenangan beberapa jam juga menunjukkan bahwa kita tak mampu membuat skala prioritas amal dalam kehidupan. Padahal sebagai manusia apalagi seorang muslim, dalam mengarungi kehidupan kita diajarkan untuk menempatkan sesuatu sesuai kadarnya, kita juga diajarkan untuk bisa berpikir dengan jernih, menimbang sesuatu yang layak jadi prioritas atau tidak. yang sesuai perintah Allah atau tidak, yang mencari ridho Allah semata atau malah mengundang murka-Nya.
Memberi ijin kepada para musisi untuk mengadakan konser-konser musik yang cenderung membawa kemudharatan daripada kemaslahatan demi mendongkrak pariwisata untuk menggairahkan perekonomian terdengar tak lebih hanya sebuah alasan. Mengapa ?, karena banyak hal lain yang bisa digali dan di berdayakan. Indonesia adalah negara yang kaya. Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang melimpah, aneka tambang yang banyak tersebar, tanah yang subur, laut yang luas dan jika di gali dan dikelola sendiri, keuntungannya sangat besar, jauh melebihi pendapatan yang didapat dari sektor pariwisata bahkan bisa mencukupi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. Namun sayang, penerapan kapitalisme sebagai ideologi di tanah ini menjadikan SDA yang bisa menjadi sumber kekayaan negara kini beralih menjadi sumber kekayaan para kapitalis.
Begitu mencengkramnya sistem kapitalisme, membuat kita tak sadar dan terus berkutat pada hal -hal yang bernilai nol besar. Kita juga tak kunjung membuka mata dan memilih terbuai oleh aktivitas konser penyanyi luar negeri. Lantunan lagu mereka didakwa sebagai hiburan pelepas penat, padahal sejatinya, itulah lantunan nina-bobo yang menjerat dan lambat laun akan membuat hidup kita hampa tak bermakna dan terus menjadi hamba sahaya para penjajah.
Wallahualam bis shawab
Editor :Esti Maulenni