Korupsi Seperti Tak Henti-Henti, Islam Punya Solusi

Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.
Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan Qanaah dengan pemberian Allah Swt., maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Sebabnya, bagi mereka dunia bukanlah tujuan. Tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih rida Allah Swt. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat, atau pegawai negara hanyalah sarana untuk mewujudkan izzul Islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus. Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Pejabat juga dituntut untuk menjaga harta rakyat. Tidak boleh ada yang hilang atau tersia-sia. Khalifah Umar ra. pernah mengejar unta zakat yang lepas, lalu ditegur oleh Imam Ali ra.. Khalifah Umar ra. menjawab, “Jangan engkau mencelaku, wahai Abul Hasan. Demi Tuhan Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan kenabian, andaikan ada anak domba (zakat) hilang di tepi sungai Eufrat, pasti Umar akan dihukum karena hal tersebut pada hari kiamat. Tiada kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak) kaum muslim.” (As-Samarqandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, hlm. 383-384).
Jika Khalifah Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan yang tidak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitulmal.
Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan, juga Amr bin Al-Ash (Ibn ’Abd Rabbih al-Andalusi, Al-’Aqd al-Farîd, 1/46–47). Ini untuk kasus yang syubhat.
Adapun untuk kasus yang jelas-jelas terbukti seseorang memperkaya diri sendiri dengan jalan curang, hukumannya adalah takzir. Bisa disita hartanya, dicambuk, dipenjara, atau bahkan dihukum mati; bergantung pada efek kerusakan yang ditimbulkan korupsi tersebut.
Imam Al-Ghazali rahimahulLâh berkata, “Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat mereka dikuasai oleh cinta harta dan jabatan.” (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn, 2/357).
Maka dari itu, solusi memberantas korupsi hanyalah dengan penerapan syariah. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan yang menerapkan syariah Islam secara kâffah.
Wallahua’lam
Read more info "Korupsi Seperti Tak Henti-Henti, Islam Punya Solusi" on the next page :
Editor :Esti Maulenni