Kekerasan Seksual Terhadap Anak Makin Parah

SIGAPNEWS.CO.ID - Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah atau Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho menuai kontroversi usai menyebut kasus yang menimpa R, 15 tahun, di Parigi Moutong bukan termasuk pemerkosaan.
Dalam konferensi pers 31 Mei 2023, Agus Nugroho memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan terkait kasus pemerkosaan terhadap anak 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo). Agus beralasan tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman dalam kasus tersebut.
"Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan termasuk juga pengancaman terhadap korban," kata Irjen Agus.
Sontak pernyataan itu mendapat sorotan berbagai pihak. Pakar hukum hingga Kompolnas pun menilai bahwa Irjen Agus keliru.
Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, mengatakan Kapolda Sulteng Agus Nugroho keliru menyebut kasus pemerkosaan remaja 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) bukan pemerkosaan. Agus Nugroho menyebut kasus tersebut merupakan persetubuhan anak di bawah umur.
“Kalau persetubuhan terhadap anak itu masuk kategori non-forcible rape (perkosaan tanpa paksaan). Jadi keliru Kapolda,” kata Chairul Huda saat dihubungi Tempo, Kamis, (1/6/23).
Sedangkan, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti meyakini bahwa kasus tersebut, jelas ada kekerasan seksual.
"Kami melihat ada kekerasan seksual dalam kasus ini, sehingga agar ada jaring bagi para pelaku untuk dihukum seberat-beratnya serta ada perlindungan kepada korban diperlukan pasal-pasal berlapis untuk menjerat mereka," katanya.
Kisah kelam anak-anak korban kekerasan seksual tidak hanya terjadi kali ini saja., melainkan juga di berbagai wilayah lain. Bahkan, kian hari kasusnya kian marak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan yang paling banyak menimpa anak-anak.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) periode 2019 hingga September 2020, jenis kekerasan seksual mencapai angka 45,4% dari total 31.768 kasus kekerasan terhadap anak. (kompas.com, 27/10/2021).
Padahal, kekerasan seksual tak hanya melukai fisik anak, tetapi juga menyakiti batinnya. Trauma akibat kekerasan seksual akan terus ada hingga masa dewasa. Tak hanya itu, anak-anak korban pedofilia seperti sodomi cenderung akan menjadi pelaku ketika dewasa. Lingkaran setan akan terus terjadi, korban akan menjadi pelaku saat dewasa dan mencari mangsa dari kalangan anak-anak, seterusnya begitu
Trauma anak akan makin berkepanjangan ketika pelaku kekerasan adalah orang dekat. Faktanya, sekitar 90% pelaku kekerasan seksual terhadap anak ialah orang-orang yang mereka kenal dan memiliki hubungan dekat. Para pelaku itu bisa anggota keluarga, saudara, tetangga, atau pendidik.
Karena banyak korban yang memilih diam dan tidak berani melaporkan ke pihak berwajib. Dalam sistem kehidupan sekuler saat ini, dimana agama dipisahkan dari kehidupan. Agama melahirkan keimanan dalam individu, .asyarakat dan negara. Dikerdilkan peran nya hanya untuk urusan ritual semata. Akhirnya individu dalam masyarakat mengambil kebebasan dam mengatur kehidupan umumnya. Akhirnya berkembang menjadi wadah segala bentuk kerusakan.
Solusi Sekuler Selalu Gagal
Menghadapi tingginya kasus kekerasan seksual dengan pelaku dan korban dari anak, banyak pihak mencoba menawarkan solusi. Salah satu ormas Islam Padang mengeluarkan pernyataan mendukung segala upaya pemerintah melalui kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan dinas terkait untuk mengusut tuntas kasus kekerasan seksual ini dan memberikan hukuman maksimal dengan pemberatan kepada para pelaku. Hal itu mereka anggap memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban sembari melakukan pemulihan kondisi fisik dan psikologis bagi korban dan keluarga.
Yayasan Ruang Anak Dunia (Ruandu) selaku lembaga yang fokus melakukan pendampingan terhadap anak menilai penyebab kekerasan seksual meningkat akibat semua pihak, termasuk anak, belum memahami soal pendidikan kesehatan reproduksi.
Untuk mencegah kasus berulang, program di beberapa wilayah telah membentuk relawan perlindungan anak di beberapa kelurahan. Langkah ini sebagai upaya mendeteksi dini kekerasan terhadap anak dalam rangka mewujudkan kota layak anak (KLA.
Sejatinya, solusi-solusi semacam ini bukanlah solusi yang bisa menuntaskan masalah. Pemberlakuan hukuman dengan pemberatan sudah lama ada setelah pengesahan Perppu 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Kejadian kekerasan seksual terhadap anak toh tidak berkurang.
Begitu pun pendidikan seks yang katanya sudah masuk kurikulum pembelajaran, alih alih mencegah, justru malah merangsang remaja melakukan pergaulan bebas. Sementara, deteksi dini tidak mampu mencegah karena baru melakukan deteksi setelah ada kejadian.
Solusi-solusi semacam ini adalah solusi sekuler yang hanya bertolak dari fakta, serta menyelesaikan fakta tersebut di permukaan tanpa menyentuh akar permasalahan.
Read more info "Kekerasan Seksual Terhadap Anak Makin Parah" on the next page :
Editor :Esti Maulenni