Kasus Gagal Ginjal Akut, Bukti Jaminan Kesehatan Rakyat Semakin Tercabut?

foto ilustrasi.Net
Belum reda duka pada awal bulan Oktober lalu, masyarakat dikejutkan dengan ratusan kematian akibat tragedi sepak bola Kanjuruhan. Baru-baru ini tersiar kabar, publik kembali dihebohkan dengan temuan kasus gagal ginjal akut, yang menimpa pada anak-anak. Hingga di penghujung bulan Oktober, tragedi memilukan kembali terjadi di belahan dunia lain, seperti pada kasus perayaan Halloween Itaewon, Korea Selatan.
Telah dilaporkan adanya peningkatan masalah gangguan ginjal akut progresif atau Acute kidney injury (AKI), sejak bulan Agustus 2022. Data terupdate melaporkan per 21 Oktober 2022, oleh Kemenkes menyebutkan, setelah teridentifikasi terdapat 241 kasus dalam 22 provinsi di Indonesia, diantaranya sebanyak 133 penderita meninggal dunia. Angka kematian tersebut sangat tinggi mencapai 55 persen kasus. Mirisnya, penyakit yang mematikan ini banyak menjangkiti anak usia bayi hingga 18 tahun (CNBC Indonesia,21/10/2022).
Sementara di kabupaten Tangerang, terdapat 6 anak usia di bawah 5 tahun terjangkit gagal ginjal akut, 4 orang meninggal, dan 2 masih dalam perawatan, imbuh Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan (Dinkes kabupaten Tangerang), Muhammad Faridz Fikri (Tempo.co,25/10/2022).
Kasus tersebut terjadi sekitar bulan Juli hingga Oktober 2022, menurut laporan masyarakat, puskesmas, dan Rumah Sakit, diantaranya berasal dari wilayah Sepatan, Teluknaga, Mauk, Binong, Cikupa, dan Balaraja.
Meskipun pemerintah melalui Menteri Kesehatan (Budi Gunadi Sadikin) mengklaim, telah melaksanakan beragam cara untuk mendeteksi penyebabnya, dan mengatasi kerancuan yang terjadi di masyarakat. Pada akhirnya Menkes menyampaikan sedikit terbuka kepada publik, sebab adanya kasus AKI di Gambia (Afrika Tengah), yang diduga akibat mengkonsumsi obat sirup buatan India.
Kemudian pada tanggal 5 Oktober 2022, WHO menyatakan adanya senyawa kimia berbahaya, yakni etilen glikol (EG), dan dietilen glikol (DEG), sebagai penyebab utama gagal ginjal akut tersebut, yang telah menelan banyak korban.
Etilen glikol atau dietilen glikol adalah suatu impurities (cemaran) dari pelarut tambahan, yang digunakan pada obat-obat berupa sirup. Agar sirup dapat larut secara sempurna, produsen menambahkan pelarut tambahan berupa polietilen glikol.
Menkes mengungkapkan bahwa, bahan ini sebenarnya tidak beracun atau berefek samping. Apabila cara membuatnya tidak tepat, maka dapat menimbulkan senyawa kimia berbahaya, seperti etilen glikol atau dietilen glikol. Karena bahan ini bukanlah merupakan bahan aktif, biasanya tidak tercantum dalam komposisi obat.
Senyawa ini diperbolehkan, tapi kadarnya harus kecil sekali. Kemudian bila mengkonsumsinya sesuai anjuran dokter, tak bermasalah, namun jika dikonsumsi tidak sesuai takaran, dapat berubah fungsi kadarnya.
Berdasarkan hal ini, pemerintah yang diwakili Kemenkes, setelah melakukan berbagai penelitian, dan uji klinis. Maka mengambil kebijakan konservatif, dalam menghentikan sementara penggunaan obat berbentuk sirup atau cair, baik untuk anak maupun dewasa, yang tengah beredar di masyarakat.
Kekhawatiran masyarakat, akan banyaknya kasus kematian akibat gagal ginjal akut, merupakan sebuah tragedi yang memilukan. Pasalnya masalah penanganan kesehatan yang kerapkali terjadi di negeri ini adalah lemahnya deteksi dini. Lalu apakah jaminan kesehatan rakyat saat ini semakin tercerabut? entahlah. Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi pemerintah, agar lebih tegas, cepat dan tepat, dalam melakukan investigasi menyeluruh di setiap sektor, baik pada tataran korban, maupun perusahaan farmasi. Selanjutnya mengambil langkah strategis dalam pencegahannya.
Di samping itu, melakukan penanggulangan kuratif dan preventif, berupa mitigasi risiko dari segi riset keamanan makanan serta obat. Agar meminimalkan jatuhnya korban benar-benar dapat teratasi. Bukan malah sebaliknya, Tuan penguasa saat ini terkesan lamban dan lalai atas terancamnya kesehatan, serta keselamatan jiwa, khususnya anak-anak. Hal ini disebabkan, karena sistem kapitalisme yang tengah bercokol di negeri ini.
Sistem ini menihilkan peranan negara dalam meri'ayah rakyatnya di semua lini. Negara hanya berperan sebagai regulator, atas tekanan kepentingan korporasi. Semua itu dirancang demi pertumbuhan ekonomi, di tengah semakin menguatnya keberadaan oligarki.
Maka tak heran setiap kebijakan yang diambil, tidak disertai ketulusan bagi kemaslahatan umat, melainkan materi dan untung rugi. Oleh karenanya bermacam upaya tambal sulam, serta antisipasi apapun dilakukan, jika masih mengadopsi sistem kesehatan kapitalisme, merupakan suatu keniscayaan yang utopis.
Berbeda halnya, jika pengelolaan kesehatan dalam sistem Islam. Negara hadir sebagai ri'ayah su'unil ummah, dalam semua aspek kehidupan. Menilik dari kasus gagal ginjal akut, yang telah banyak memakan korban khususnya anak-anak tersebut. Sejatinya anak-anak merupakan aset generasi penerus bangsa. Semestinya menjadi people power peradaban, yang harus dilindungi, dan tidak boleh diabaikan keselamatan jiwanya.
Dalam Islam, nyawa merupakan anugerah yang diberikan Allah Swt, harus dijaga dan dilindungi. Rasulullah Saw bersabda: "Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah, dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak." (HR. An Nasai).
Dengan demikian, berkaca dari peristiwa tersebut, sungguh miris kasus gagal ginjal akut ini, notabene banyak merenggut korban terutama anak-anak. Merupakan tragedi yang sangat memprihatinkan, bukti jaminan kesehatan rakyat saat ini semakin tercerabut, dan terpuruk.
Di satu sisi generasi muda saat ini, telah banyak dibajak oleh bahaya pemikiran sekuler yang rusak dan merusak, hingga membiarkan nyawa mereka terancam. Oleh karenanya, harus ada peranan negara yang menjadi garda terdepan, dalam menangani kasus tersebut, mulai dari sektor hulu, hingga hilir. Sehingga tidak akan didapati penanganan yang lamban, bahkan banyaknya korban jiwa dapat teratasi.
Alhasil, hanya sistem Islam yang mampu menjamin kesehatan, keselamatan, bahkan melindungi setiap jiwa rakyatnya. Sehingga akan tercipta kemaslahatan umat dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahua’lam bishawab.
Editor :Esti Maulenni