Buruh, Nasibmu Kini?

SIGAPNEWS.CO.ID - Sepekan lebih, bulan kelima telah kita lalui bersama. Masih segar dalam pikiran kita, bagaimana tuntutan para pekerja (buruh) yang disampaikan pada momen May Day atau biasa dikenal dengan Hari Buruh Internasional. Tepatnya diperingati setiap tanggal 1 Mei.
Setiap tahunnya pasti seluruh buruh akan tumpah ke jalan dan menyampaikan keluh kesahnya (aspirasi). Tahun ini mereka pun melakukan hal yang sama. Setidaknya ada tujuh tuntutan yang disampaikan. Yaitu berkaitan dengan penyelenggaraan pesta besar 2024, pencabutan UU Omnibus Law, segera ketok palu RUU PPRT, dan yang lain. Dari laman detikNews.com (01/05/2023) tujuh tuntutan buruh dalam peringatan May Day adalah sebagai berikut:
1. Cabut syarat ambang batas parlemen empat persen dan syarat ambang batas pencalonan presiden 20 persen karena dapat membahayakan demokrasi.
2. Cabut Omnibus Law UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
3. Segera sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
4. Menolak RUU Kesehatan.
5. Reforma agraria dan kedaulatan pangan. Menolak bank tanah impor beras, kedelai, garam, dan lain-lain.
6. Pilih calon presiden yang pro terhadap buruh dan haram hukumnya berkoalisi dengan partai politik yang ikut mengesahkan UU Cipta Kerja.
7. Hapus outsourcing, tolak upah murah.
Jika kita telusuri bersama, setiap aksi yang dilakukan oleh para buruh yang turun ke jalan nadanya selalu sama. Mereka selalu menyuarakan kesejahteraan dan keadilan bagi para buruh. Dari sana kita bisa mengambil kesimpulan bahwa keadaan buruh saat ini tidak baik-baik saja. Hantaman Covid-19 ditambah dengan kebijakan perusahaan yang melakukan PHK massal membuat mereka tidak mempunyai pekerjaan. Belum lagi perusahaan tempat mereka bekerja melakukan penetapan upah alias gaji yang rendah. Mereka sengaja disetting untuk mampu meningkatkan kualitas serta kuantitas produksi. Tentunya mereka bekerja dengan begitu ekstra bagaikan robot yang tak kenal lelah.
Tak hanya itu, mereka juga dihadapkan dengan aturan-aturan yang merugikan. Seperti pemotongan upah karena kesalahan yang tak sengaja, tidak bertanggung jawab terhadap kecelakaan, dan yang lainnya. Bahkan ketika buruh tersebut sakit, maka tidak ada toleransi. Artinya upah mereka tetap dipotong karena tidak masuk bekerja. Termasuk bagi perempuan, jika melahirkan tak ada lagi cutinya. Sungguh ini merupakan fakta nyata kondisi buruh yang ada di negeri ini. Begitu sedih dan miris ketika kita melihat fakta tersebut.
Balik ke peringatan May Day tadi, mereka telah menyampaikan aspirasinya bahkan tuntutan yang dilayangkan kepada perusahaan tempat mereka bekerja. Namun, kenyataan berbicara lain. Tentunya perusahaan mengetahui dengan jelas apa yang diinginkan oleh para pekerjanya. Akan tetapi, perusahaan tidak mau dengan serius melihat kondisinya. Apalagi perusahaan tidak mau rugi banyak hanya demi mensejahterakan para pekerjanya. Tentulah asas manfaat akan mereka pakai. Siapa yang tidak mau bekerja, maka perusahaan bisa mencari pekerja lain yang mau dibayar dengan upah minimalis. Nah, itu yang diterapkan oleh pihak perusahaan. Sehingga mau tak mau, para pekerja tadi (buruh) dengan terpaksa akhirnya mau menuruti apa yang diinginkan oleh perusahaan alias orang yang bermodal tadi. Karena jika tidak begitu, maka mereka akan kehilangan pekerjaan sebagai mata pencaharian.
Belum lagi jika kita berbicara terkait dengan RUU Cipta Kerja yang menuai kontroversi dari masyarakat. Lebih khusus kaum buruh, mereka meminta agar RUU tersebut tidak disahkan menjadi UU. Karena isinya begitu kentara, yaitu lebih mementingkan para pemilik modal. Di sisi lain juga terkait dengan SDA akan dengan mudah dikuasai serta pengelolaan jatuh pada pihak swasta.
Akhirnya RUU tadi diketok palu juga menjadi UU. Dari sini bisa kita ketahui bahwa aspirasi dari masyarakat ternyata tidak didengar dan diperhatikan juga. Buruh juga bagian dari masyarakat alias rakyat negeri ini. Namun fakta tetap berbicara bahwa yang lemah tetaplah tidak bisa didengar dan diberikan keadilan. Itulah wajah buruk demokrasi kapitalis yang saat ini sedang kita lihat. Buruknya telah tergambar jelas di depan mata kita.
Akan sangat berbeda dengan Islam ketika diterapkan dalam kehidupan. Di dalam Islam, pengaturan yang ada bersumber dari akidah Islam. Ditambah dengan keimanan serta ketaatan yang terpancar dari individu-individunya ketika diberikan amanah. Pasti akan menjalankan dengan segenap jiwa dan melaksanakannya karena mengetahui dengan pasti bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Kemudian, kemaslahatan umat menjadi poin penting bagi negara untuk segera diwujudkan. Termasuk pada masalah upah dan pekerja. Harus ada kejelasan dalam masalah akad dan gaji yang dilakukan antara pekerja dan yang memberi pekerjaan. Hak dan kewajiban dari kedua belah pihak harus jelas dan dijalankan dengan baik. Apalagi menyangkut apa yang harus dikerjakan oleh pekerja, upah, cuti atau libur, dan berkaitan dengan lainnya harus jelas telah disepakati oleh keduanya. Tentunya agar sama-sama rida dan membawa keberkahan pada keduanya.
Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda "Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya." *(HR. Ibnu Majah)*
Sebagaimana sabda Rasulullah di atas maka menjadi kewajiban bagi pengusaha atau orang yang mempunyai pekerja untuk segera menunaikan upah mereka. Artinya jangan ditunda ataupun "dirapel'' alias disatukan beberapa bulan. Karena para buruh atau pekerja tentunya mempunyai keperluan hidup yang harus dipenuhi. Jika sebagai orang yang mempekerjakan lantas menunda upah mereka, maka ini termasuk kezaliman.
Kaum buruh hanya bisa sejahtera ketika Islam diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Dan tidak akan menimbulkan persoalan lagi ataupun merugikan salah satu pihak. InsyaAllah akan tuntas persoalan yang ada, termasuk Maslaah buruh ini. karena Islam akan menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat tanpa kecuali. Dan harus dipastikan individu per individu.
Tentunya semua itu akan bisa terlaksana dalam bingkai institusi yang mau menerapkan hukum syarak. Dan para penguasa juga mau menerapkannya secara menyeluruh tadi. Wallahua'lam.
Mulyaningsih - Pemerhati Masalah Anak dan Keluarga
Editor :Esti Maulenni