Hipokrit PBB atas Nasib Pengungsi Rohingya di Aceh

231 warga Rohingya terdampar di wilayah Aceh Besar dan Kabupaten Pidie.
Baru-baru ini, dua kapal yang mengangkut 231 warga Rohingya terdampar di wilayah Aceh Besar dan Kabupaten Pidie. Pun pemerintah Indonesia tengah berdiskusi untuk menempatkan pengungsi Rohingya di tempat yang khusus menyusul adanya sejumlah masyarakat Aceh yang terganggu dengan kehadiran mereka. (Dikutip dari bbc.com pada 28/12/2022)
Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Volker Turk menyerukan kepada negara-negara agar berkoordinasi untuk melindungi ribuan warga Rohingya. Sebab, mereka mempertaruhkan nyawa menjalani perjalanan berbahaya di laut. (Dikutip dari ihram.co.id pada 31/12/2022)
Begitu pun dengan Perwakilan UNHCR di Indonesia menekankan bahwa pengungsi juga memiliki hak asasi manusia dan selayaknya bisa saling menolong. Namun, sayangnya Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi yang masuk sebab sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967).
Mirisnya, PBB malah menekan negara negara untuk menbantu Rohingya, tanpa memberi tekanan dan memberi kecaman kepada pemerintah asal pengungsi Rohingya, yaitu Myanmar untuk segera menyelesaikan konflik dalam negeri yang menyebabkan warga muslim Rohingya diusir dari negerinya sendiri. Sebab, muslim Rohingya pun berhak mendapatkan hak tinggal sebagai warga negara Myanmar. Terlebih, PBB yang notabenenya merupakan organisasi kemanusiaan dunia, harusnya mampu menyelesaikan konflik kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Faktanya, HAM hanyalah propoganda. Sebab masih banyak negara-negara yang masih terjajah termasuk muslim Rohingya.
Hal tersebut menjadi bukti kongkret hipokritnya lembaga dunia. Apalagi PBB malah mendorong solusi pragmatis dengan menampung pengungsi dari Rohingya. Sikap tersebut tentu tidak akan menjadikan solusi yang mampu memberikan kebebasan kepada muslim Rohingya yang terlunta-lunta.
Pun dengan negara-negara ASEAN lebih hitung-hitungan beban ekonomi, economy security dibandingkan human security. “Padahal Rasulullah mengajarkan, diplomasi Islam dibangun atas dasar keamanan jiwa, darah, dan kehormatan manusia.
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya; ia tidak (boleh) menzaliminya dan tidak (boleh) mengabaikannya.” (HR. Muslim)
Jelas, dalam Islam seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Layaknya satu kesatuan tubuh seorang muslim saling terikat satu sama lain.
Wallahualam bissawab.
Penulis: Darni Salamah_Aktivis Muslimah
Editor :Esti Maulenni