Penista Al-Quran, Kebencian Mereka Nyata

Alquran sebagai kitab suci umat Islam seluruh Indonesia.
Lagi dan lagi penistaan terhadap Islam terjadi , politikus sayap kanan Swedia Rasmus Paludan kembali berulah dengan nembakar Al-Qur’an di depan umum (JPNN.com, 21/1/2023). Pentolan Partai Garis Keras (Stram Kurs) itu membakar kitab suci umat Islam tersebut saat memimpin aksi demo di depan Kedutaan Besar Turki di ibu kota Swedia, Stockholm, pada Sabtu, 21 Januari lalu, aksi itu sebagai bentuk protes kepada pemerintah Turki , setelah sebelumnya Turki memanggil duta besar Swedia di Ankara, pemanggilan Ambasador itu sebagai respons atas izin dari Swedia terhadap aksi warga Kurdi membakar patung Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Stockholm.
Kantor berita Agence France-Presse (AFP) merilis berita, Paludan memimpin sekitar 100 orang dalam aksi demo yang dijaga ketat personel kepolisian itu. Sebelum membakar, ia berorasi sekitar satu jam yang isinya tentang penolakannya terhadap Islam dan kebijakan imigrasi. Dengan lantang, Paludan membakar Al-Quran dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi.
Aksi demonstrasi anti-Turki dengan menyobek Al Quran di Swedia dikuti dengan peristiwa yang sama, terjadi di Den Haag, Belanda, Minggu, 22 Januari 2023. Sebelumnya, sebuah unjuk rasa di Stockholm diwarnai dengan pembakaran kitab suci umat Muslim itu (Tempo.co, 24/1/2023). Pemerintah Turki pun bereaksi dengan memanggil Duta Besar Belanda di Ankara, Joep Wijnands, pada Selasa, 24 Januari 2024. Kementerian Luar Negeri Turki dalam pernyataannya sangat mengecam atas serangan keji tersebut dan mengatakan insiden di Belanda itu, yang terjadi setelah pembakaran salinan Quran di Swedia, menghina nilai-nilai suci umat Islam dan mengandung kejahatan kebencian.
Tindakan keji itu merupakan pernyataan yang jelas bahwa Islamofobia, diskriminasi dan xenofobia tidak mengenal batas di Eropa. Tindakan itu menyasar langsung hak-hak mendasar dan kebebasan, nilai-nilai moral dan toleransi sosial, yang bukan hanya dimiliki Muslim tetapi juga seluruh manusia. Tindakan tersebut juga mencederai kultur hidup bersama secara damai, lanjut Kemenlu Turki. “Kami berharap Pemerintah Belanda mengambil tindakan yang diperlukan terhadap pelaku insiden itu dan menerapkan langkah-langkah konkret untuk mencegah insiden serupa terulang lagi,” kata pernyataan itu.
Kebebasan Berekspresi Produk Sistem Sekulerisme
Kebebasan berekspresi seolah menjadi dewa penyelamat yang melindungi para pembenci Islam melakukan berbagai tindakan anarkis, dari mulai membakar Alquran, menyerang masjid, membunuh kaum Muslim secara brutal membabi buta, melecehkan para muslimah dan lainnya. Kebebasan berekspresi yang mereka gembar-gemborkan sebagai “mata uang” universal yang bisa diterima dimana saja, siapa saja, kapan saja namun faktanya ternyata pisau bermata dua, di sisi lain begitu murka jika berhadapan dengan Islam.
Berkali-kali, kemarahan kaum kafir ini selalu ditujukan kepada Muslim dengan membakar Alquran, namun tak sekalipun kaum Muslim membalas dengan perlakuan yang sama, membakar kitab suci mereka, padahal lebih marah karena keyakinan berIslam diinjak-injak seolah tak ada harganya. Toleransi yang mana lagi yang lebih mulia selain sikap yang ditunjukkan oleh kaum Muslim? Semua karena Islam belum memiliki junnahnya. Ya, inilah akibat diterapkannya sistem kapitalisme yang menciptakan individu-individu egois, setiap kemarahan dan kebencian harus selalu ditunjukkan dengan pengrusakan.
Kapitalisme memandang bahagia adalah mendapatkan kepuasan jasadiyah, dari apa-apa yang mereka miliki , meskipun dengan cara merampok atau penjajahan gaya baru. Termasuk menciderai keyakinan beragama menjadi kepuasan batin mereka, benar-benar sistem sakit dan batil.
Penistaan Al-Qur’an Terus Berlanjut, Umat Membutuhkan Khilafah
Ketiadaan junnah bagi kaum Muslimin ini memang keadaan yang menyakitkan, karena tak ada pembelaan berarti ketika agama dan keyakinan dihina. Paling banter hanya mengecam. Tak ada yang berani memimpin sebuah pasukan yang kemudian mengepung dan menghabisi para penista itu. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ketika mengepung Bani Qoinuqo. Dalam buku ‘Biografi Rosulullah’, Dr Mahdi Rizqullah Ahmad, mengisahkan mengenai penyebab pecahnya perang Qainuqa. Kaum Yahudi Bani Qainuqa dengan terang-terangan memperlihatkan kemarahan dan kedengkian mereka atas kemenangan kaum Muslimin di Perang Badar.
Ajakan Rasulullah untuk masuk Islam agar selamat diabaikan bahkan dibalas dengan tantangan dan kesombongan. Keonaran kaum Yahudi semakin menjadi-jadi, suatu saat terjadi peristiwa di mana seorang perempuan Muslimah berbelanja di pasar Bani Qainuqo. Orang-orang Yahudi tersebut melecehkan dengan meminta agar perempuan itu menyingkap jilbabnya. Tentu saja perempuan itu menolak, namun curangnya Yahudi, salah satu dari mereka mengikat ujung jilbab sehingga ketika perempuan itu berdiri tersingkaplah auratnya.
Rasulullah bersama kaum Muslimin melakukan aksi balasan dengan mengepung kaum Yahudi selama 15 hari 15 malam berturut-turut tanpa ada dari mereka yang masuk ataupun keluar dari tempatnya. Saat situasi semakin bahaya karena tidak ada pasokan makanan yang masuk, mereka kemudian menyerah dengan menawarkan anak-anak dan istri-istri mereka. Dan Rasulullah dengan tegas menolak. Posisi Rasul saat itu adalah kepala negara. Yang benar-benar membela kemuliaan Islam. Dan samasekali tidak memberi celah penghinaan sedikit pun terhadap peraturan yang diterapkan saat itu, yaitu syariat Allah SWT.
Disinilah urgensitas adanya Khilafah sebagai junnah atau perisai pelindung yang memberikan perlindungan dan keadilan. Sebab, tak ada jalan lain kecuali dengan memerangi para penghina Islam itu. Alquran bukan buku bacaan pengantar tidur, namun ia adalah pedoman hidup bagi kaum Muslim. Barang siapa memeluk dan meyakini Islam dengan sepenuhnya keimanan tentu akan menjadikan Alquran sebagai pemimpin dalam semua perilakunya.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah 2:2). Jelas, pelecehan demi pelecehan akan terus terjadi, selama manusia masih menggunakan kapitalisme sekuler, maka sistem harus dihadapi dengan sistem juga, yaitu Khilafah Islamiyyah, institusi inilah yang akan melindungi umat dan ajaran Islam. Wallahu a’lam bish showab.
Penulis: Rut Sri Wahyuningsih_Institut Literasi dan Peradaban
Editor :Esti Maulenni