Pungutan Pajak Semakin Tidak Bijak?

Anesa Tri Juni, S.Sos.
Memasuki tahun 2023 kondisi kehidupan masyarakat nampaknya bukan kian membaik. Bahkan sepertinya mereka harus siap menerima kejutan demi kejutan kebijakan pemerintah semakin membuat begah.
Seperti informasi beberapa waktu lalu yang dilansir dari CNBC Indonesia.com (Rabu, 14/09/2022) Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa, pihaknya akan menaikkan target penerimaan pajak di tahun depan menjadi Rp 1.718 triliun atau naik Rp 2,9 triliun dari usulan awal Rp 1.715 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, naiknya penerimaan pajak akan disokong oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi Rp 743 triliun dari usulan awal Rp 740,1 triliun. Kenaikan target PPN, kata Sri Mulyani juga tidak terlepas dari berubahnya asumsi makro yang ditetapkan pemerintah di tahun depan.
Untuk mengejar target pajak di tahun depan, Kemenkeu memastikan akan mengoptimalkan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), disertai dengan peningkatan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan perpajakan.
Sungguh luar biasa, ditengah kondisi ekonomi masyarakat yang terseok-seok bangkit dari keterpurukan dampak pandemi silam, kini ancaman kembali terjadi. Persoalan resesi santer dibicarakan, bahkan sejak tahun 2022 akhir. Pemerintah jutru mengeluarkan kebijakan tanpa nurani yang bukannya menjadi solusi atas kesulitan yang dialami rakyat, malah membuat rakyat semakin sekarat.
*Pajak Andalan Negara Ekonomi Kapitalis*
Menurut KBBI pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.
Poin pentingnya disini yakni, bagi negara yang menerapkan ekonomi kapitalis, pajak menjadi pos pemasukan utama negara, dan Indonesia merupakan salah satunya yang menerapkan sistem ekonomi tersebut. Pemungutan pajak menjadi solusi praktis tanpa harus bersusah-payah untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.
Pemangku kebijakan mengklaim bahwa dengan taat membayar pajak, dapat membantu terciptanya kesejahteraan masyarakat dan menyediakan fasilitas bagi rakyat miskin. Sehingga mengurangi kesenjangan sosial.
Namun sayangnya, ini seakan hanya klaim sepihak belaka. Faktanya dilapangan, pemungutan pajak yang hampir ada disegala aspek ini seperti adanya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai (BM), dan Pajak Daerah, tidak sebanding dengan fasilitas yang didapatkan oleh rakyat.
Rakyat masih banyak mengalami himpitan, kesulitan dibidang pendidikan, tidak merasakan layanan kesehatan yang layak dan mudah, atau fasilitas umum dan kemananan pun masih belum dirasakan maksimal oleh rakyat. Sehingga bisa kita simpulkan, anggaran pajak yang dipungut dan terkesan memeras rakyat ini tidak tepat sasaran. Yang ada malah mengakibatkan rakyat kecil semakin terbebani.
*Pajak dalam Prespektif Islam*
Dalam Islam, pajak memang dihalalkan. Namun begitu berbeda pada praktik pelaksanaan atau pengadaannya. Dalam negara yang menerapkan Sistem Ekonomi Islam, ada yang namanya Baitul Mal.
Disadur dari buku Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi) karangan Sheikh Taqiyuddin an-Nabhani, Baitul Mal digunakan untuk menyebut tempat penyimpanan berbagai pemasukan negara dan sekaligus menjadi tempat pengeluarannya. Baitul Mal juga digunakan untuk menyebut lembaga yang bertugas memungut dan membelanjakan harta yang menjadi milik kaum Muslim. Pemasukan untuk Baitul Mal sendiri meliputi tiga pos.
1. Pos Fa'i dan Kharaj: meliputi ghanimah, kharaj, tanah-tanah, jizyah dan pajak
2. Pos Kepemilikan Umum: meliputi minyak bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, sungai, selat, mata air, hutan, Padang gembalaan, hima dan sebagainya.
Mengingat dalam sebuah hadist Rasulullah ? bahwa, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Dari sini jelas bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu. Jadi kepemilikan umum tersebut seharusnya dikelola oleh negara untuk kemudian hasilnya dikembalikan ke umat.
3. Pos Zakat: Meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian dan buah-buahan, unta, sapi dan domba.
Pada hakikatnya, di negara yang menerapkan ekonomi Islam tersebut, pajak bukanlah sumber utama pemasukan negara. Sumber pajak hanya dipungut bagi mereka yang berkemampuan dalam hal harta dan itupun tidak memberatkan, namun sesuai kemampuan, bahkan ketika kondisi negara sedang mengalami keadaan darurat, semisal Baitul Mal kosong, sedangkan negara saat itu membutuhkan anggaran secepatnya. Maka, demi mencegah kerugian dan untuk mencapai kemashlahatan bersama, maka diperbolehkan untuk memungut pajak dari orang kaya, yang demikian juga bisa dikatakan bentuk jihad harta bagi mereka.
Pajak yang ditarik oleh pemimpin yang menerapkan ekonomi Islam tadi, dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil dan sejalan dengan syari'at. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita mencampakkan Sistem yang mendukung penerapan Ekonomi Kapitalisme di negeri ini. Saatnya kita beralih dan memperjuangkan adanya sistem Islam. Di mana syariat Islam bisa dijalankan secara totalitas bahkan secara otomatis Ekonomi Islam pun bisa diterapkan.
Wallahu a'lam bishowwab
Editor :Esti Maulenni